Categories
Begini Saja

Kepatuhan Di Bawah Panji Rasionalitas

Saat meliput demo, wartawati Tempo berinisial P ini mengalami pelecehan seksual oleh anggota FPI bernama Hussein. Menurut P, kejadian pelecehan terjadi saat ia berdesak-desakan di antara puluhan simpatisan FPI. Tiba-tiba saja seorang laki-laki paruh baya memegang pinggulnya dari belakang. Perdebatan panjang pun terjadi antara P dengan pria yang ia tuduh melakukan tindakan tak senonoh tersebut. Sementara, Hussein menepis tudingan P. Pria itu berdalih hendak menyalami KH Muhammad Ali Khaththath yang tengah berjalan (ISLAMTOLERAN.COM, 24/9/14).

Paradoks Rasionalitas

Siapa mengira bahwa individu yang paling berisiko menjadi  menjadi “common denominator” terendah manakala tenggelam di tengah kerumunan justru mereka yang paling rasional?

Ketertenggalaman dapat membuat seseorang bertindak biadab, kekanak-kanakan, atau berlaku secara tidak rasional dan bertentangan dengan standar perilaku. Fakta ini menempatkan faktor “kesadaran rasional” (KR) sebagai kondisi paradoksal yang paling gampang ditundukkan oleh pengaruh kolektif, terutama ketika kekuatan kolektif menggedor KR yang berkaitan dengan kandungan moral negatif.

Menurut Durkheim, KR bersifat permisif dan rentan terhadap mekanisme kerumunan. Begitu massa mengumpul, tindakan kuat yang memicu imitasi langsung bersambut dengan pembesaran siklus intensifikasi seperti halnya riak yang muncul setelah batu dilemparkan ke dalam kolam. Stimulasi ini membawa individu dengan tingkatan KR tinggi masuk ke dalam kondisi “ilusi kehendak“. Ketika kerumunan menyatu secara spontan, penentunya adalah sosok yang mampu membuang batu dan memberikan “perintah yang diimpikan” sehingga merangsang munculnya “mimpi tindakan“.

Sosok itu adalah seorang yang kuat dan keras kepala, seorang ahli hipnotisme yang memiliki kemauan membangkitkan kerumunan, menyediakan massa dengan perintah menarik untuk mengeraskan dan memotivasi melalui daulatnya. Karakter dalam dari sosok ini ditandai dengan tingkatan KR dominan, tidak mudah gugup, bersemangat, “setengah gila atau yang berbatasan dengan kegilaan“.

Secara khusus, sosok itu harus “terobsesi” dengan ide yang “telah merasuki dirinya”. Kondisi obsesif ini akan menarik bagi banyak orang, karena hanya melalui keterobsesian itu ia melepaskan diri dari segala bentuk kekuatan di luar dirinya yang mengendalikan, sehingga ia mampu bertindak dan memutus segala siklus imitasi yang diserap di masa-masa sebelumnya. Sosok tersebut tidak hanya menimbulkan ketaatan, tetapi juga cinta dan pujian dari para pengikut. Dengan berdiri terpisah, ia menjadi fokus yang memaksa dan menggerakkan melalui “perintah yang diimpikan”.

Rasional yang Kolektif

Dengan mengangkat paradoks tentang kondisi KR yang rentan terhadap pengaruh massa, saya tidak membantah arti-penting dari sebuah pencarian makna, koherensi, dan keadilan sebagai awal dari komitmen terhadap gerakan sosial.

Dengan ini, saya hendak menegaskan ibarat ngengat yang berkerumun mengitari pijar api, perasaan kewalahan karena kecemasan tanpa nama, ketertenggelaman dalam pusaran massa, atau keterpancingan pada sosok karismatik; merupakan penjelasan rasional mengapa seseorang dengan tingkatan KR tinggi justru lumat dalam pusaran pengaruh kerumunan. Biangnya justru rasionalitas, di mana irasionalitas menjadi kutub diametral dari paradoksnya.

Pertanyaannya kemudian, mengapa yang dianjurkan bahkan didengung-dengungkan oleh para penjaga ketertiban masyarakat dan petinggi keagamaan adalah justru cara pandang bahwa kerumunan dan pemimpin massa adalah pihak yang yang dituduh irasional, sehingga masyarakat umum dan pemeluk dianjurkan agar bersikap rasional?

Tidakkah kewajaran manusia di bawah keadaan yang paling luar biasa dapat dianggap justru sebagai reaksi intelektual yang mengejawantah ke dalam bentuk kepatuhan buta di bawah panji rasionalitas? Bukankah penolakan terhadap deindividuasi yang diwujudkan ke dalam kesadaran kolektif justru menjelaskan formasi sosial saat ini, di mana kesadaran kolektif yang dimaksud adalah KR yang dilakukan dalam segregasi kolektif?

Fenomena Hussein yang saya angkat dalam esai pendek ini justru menegaskan tentang KR yang mencerminkan bahkan meratifikasi proses rasionalisasi dalam masyarakat luas yang kemudian menemukan formatnya dalam romantisme eksistensialis tentang pendewaan diri yang justru antisosial.

Bacaan:

  1. “FPI Lakukan Pelecehan Seksual Saat Demo Tolak Ahok”. Online Document: http://www.islamtoleran.com/fpi-lakukan-pelecehan-seksual-saat-demo-tolak-ahok/
  2. Tarde, Gabriel. 1903: The Laws of Imitation. New York: Henry Holt and Co. Online Document: https://archive.org/stream/lawsofimitation00tard/lawsofimitation00tard_djvu.txt
  3. Le Bon, Gustave. 1952: The Crowd: A Study of the Popular Mind. London: Ernest Benn. Online Document: https://openlibrary.org/books/OL23798716M/The_crowd

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *