Categories
Begini Saja

Visi Moralitas Pengesahan RUU Pilkada

UU Pilkada dengan opsi Pilkada melalui DPRD sudah disahkan oleh DPR. Menurut Tantowi, tidak boleh ada pihak yang menghalangi diberlakukannya UU yang sudah disahkan dan hal ini telah disebutkan jelas dalam konstitusi. Juru Bicara Koalisi Merah Putih ini menyayangkan rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait dengan Undang-Undang Pilkada. Menurutnya, perppu itu inkonstitusional karena tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, sehingga langkah pertama yang akan dilakukan Koalisi Merah Putih jelas, yakni menolak jika perppu itu disahkan menjadi undang-undang. Dengan jumlah Koalisi Merah Putih yang mendominasi di DPR, dia optimistis bahwa perppu akan ditolak.

Sementara itu, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Veri Junaedi, mengatakan voting pengambilan keputusan atas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada sidang paripurna, Jumat dini hari, 26 September, tidak sah. Menurut Undang-Undang tentang Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 284 ayat 1 yang disahkan pada September 2014, keputusan paripurna RUU Pilkada baru sah bila disetujui setengah dari total 496 peserta yang hadir, yaitu minimal 248 orang. Sedang yang menyetujui pilkada langsung hanya berjumlah 135 orang dari 226 orang yang melakukan voting.

Para pengamat umumnya menilai, 135 melawan 91 suara adalah persaingan antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Namun, menurut Ray Rangkuti, yang terjadi adalah kekalahan rakyat Indonesia terhadap KMP yang bisa disebut melawan kehendak rakyat Indonesia. Menurutnya, RUU Pilkada ini telah mengembalikan sistem Pilkada ke masa Orde Baru. Selain merasa merasa miris mendengar Prabowo Subianto dan Amien Rais bersujud syukur atas kekalahan demokrasi rakyat Indonesia ini, Ray juga mengaku curiga dengan niatan Partai Demokrat (PD) mengajukan gugatan ke MK. Ia khawatir bahwa poin-poin yang akan diajukan Partai Demokrat atau SBY adalah poin-poin yang bisa juga dijadikan MK untuk tidak mengabulkan permohonan.

Pengesahan RUU Pilkada membuat rakyat marah. Setidaknya ada 10 pemohon yang mengajukan uji materi. Mereka adalah Supriyadi Widodo Eddyono, Wiladi Budiharga, Indriaswati D. Saptaningrum, Ullin Ni’am Yusron, Anton Aliabbas, Antarini Pratiwi, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial).

Pertanyannya, jika para anggota DPR yang melegalkan RUU Pilkada dengan opsi Pilkada melalui DPRD ditentang oleh rakyat yang memilih mereka, maka apakah DPR sendiri tak sedang kehilangan legitimasi atas legalisasi yang dilakukan?

Legal versus Moral

Reaksi masyarakat terhadap pengesahan RUU Pilkada menegaskan, keadilan tidak selalu terpenuhi di arena persoalan yang melibatkan baik pertimbangan etika moral, maupun di hukum sekaligus. Tak jarang sesuatu yang diputuskan sebagai ilegal merupakan sesuatu yang memenuhi syarat keadilan secara etika moral, dan sebaliknya.

Karenanya, kelompok-kelompok pemantau berperan memastikan sejauh mana suatu sistem bekerja sehingga tidak terjadi ketidakadilan di mana keuntungan dinikmati hanya oleh seseorang atau segelintir orang.  Untuk itu, kelompok-kelompok pemantau memanfaatkan seabrek undang-undang dan pedoman guna menilai corak hubungan di antara para pemangku kepentingan: pejabat terpilih dan konstituen, kelompok kepentingan, perusahaan, dan pejabat pemerintah lainnya.

Aturan menjadi landasan bagi pemantau untuk mengukur aktivitas pemangku kepentingan. Untuk pemilu, misalnya, ada hukum keuangan kampanye untuk mengatur sumbangan antara kandidat, partai politik, dan relawan. Pertanyaannya, pun bila sistem yang berjalan sudah sesuai dengan aturan, apakah dengan sendirinya terjamin terjadinya keadilan?

Ikhwal benar dan salah tidak jatuh dari pohon atau langit. Orang cerdas harus mampu mengatasi masalah dengan menempatkan moralitas sebagai pertimbangan sekaligus pedoman bertindak, meski kita tidak harus memberlakukan jawaban moralistik untuk semua persoalan. Bagaimanapun, moral harus menjadi landasan kesamaan atau plat form dalam memandang suatu persoalan. Kita tidak bisa mengharapkan aturan yang diterima secara universal oleh semua orang kecuali aturan itu mampu menarik semua orang pada pertimbangan moral kendati mungkin dicetuskan hanya oleh beberapa orang yang tidak besedia mengadopsi aturan tersebut.

Pertimbangan moral menjadi semacam kesamaan dalam memandang suatu aturan, sebab aturan dibuat untuk warga negara dan bukan sebaliknya. Namun, ketika aturan hampir selalu untuk meng-gol-kan “kepentingan” tertentu, pertimbangan moral dapat memberikan kesempatan bagi rasa keadilan di mana sesuatu yang sudah diterima secara legal bisa saja mengandung kejelasan tentang kesalahan tertentu yang terlalu penting untuk diabaikan. Argumentasi “mengapa” suatu aturan pada dirinya mengandung suatu kesalahan atau mengundang untuk dipersalahkan, bagaimanapun, mengharuskan kita menjadi sangat jelas tentang apa kontraktarianisme di balik aturan yang dilegalkan.

Menurut kontraktarianisme, prinsip-prinsip moral adalah semacam kesepakatan. Kebenaran dari suatu kesepakatan tidak identik dengan legalitas dari suatu perjanjian. Kata “perjanjian”sendiri menunjukkan dua hal. Pertama, pihak-pihak yang bersepakat sama-sama setuju bahwa sesuatu memiliki atau berasosiasi dengan atribut/sebutan tertentu, misalnya “bumi bulat”; meski perjanjian belum membuat kesepakatan terkait efek dari “bumi bulat” dan baru sampai pada kesepakatan pandangan tentang “bumi bulat” dan menyetujui hal ini. Kedua, perjanjian bersifat tendensius ke arah tindakan, misalnya, dalam jual beli barang di mana dengan menyepakati harga tertentu pihak pertama mengambil dompet dan mengeluarkan uang bagi pihak kedua yang kemudian menyerahkan barang. Dalam arti ini, tindakan membayar dan menyerahkan barang merupakan kesepakatan yang sebelumnya secara nyata tidak ada, yakni bahwa pihak pertama setuju membayar jika, dan hanya jika, pihak kedua menyerahkan barang; dan begitu pula sebaliknya.

Pada perjanjian dalam arti kedua, tak satu pun dari pihak-pihak berada di bawah kewajiban untuk melakukan jual-beli. Kedua pihak hanya menyepakati bahwa ada barang tertentu dengan harga tertentu. Di sini yang disepakati hanya semacam rasa keadilan di mana kedua belah pihak sepakat tentang harga barang sebagaimana menyepakati bahwa “bumi bulat”. Kesepakatan ini “tidak bersyarat” dalam arti tidak melibatkan niatan bersyarat “jika kau bayar, maka barang menjadi milikmu”.

Kontraktarianisme berkutat pada ide bahwa prinsip-prinsip moral menjadi semacam kesepakatan besar yang memayungi. Apa yang membuat terjadinya “kesepakatan” adalah bahwa aturan yang secara implisit sebenarnya “rapuh”, sebab para pihak saling memperlakukan pihak lain dengan cara tertentu sejauh pihak lain mau melakukan hal yang diinginkan. Jika tidak, kesepakatan ini batal. Dan jika batal, kedua pihak menjadi lebih buruk dibandingkan dengan posisi di mana mereka saling memenuhi keinginan pihak lain. Dalam konteks ini, mutualitas, ketimbal-balikan, menjadi isapan jempol belaka.

Lantas. di mana letak pertimbangan moral pada kontraktarianisme? Diasumsikan pada mulanya orang datang dengan berbagai kepentingan. Kepentingan ini akan memotivasi mereka untuk masuk ke dalam urusan moralitas. Jika setiap orang melakukan dan memberlakukan apa yang disebutkan dalam perjanjian bagi dirinya sendiri, maka mereka lebih baik daripada tidak melakukan. Di sini moral berorientasi pada keuntungan atau kemanfaatan yang diharapkan oleh semua pihak, sejauh terpenuhi kondisi di mana antara yang diperjanjikan dan dilaksanakan sesuai.

Dilema Moralitas-Legalitas

Kemungkinan terjadinya ketaksesuaian menjadi keniscayaan jika pihak-pihak melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan bahkan merugikan. Sebagai contoh, pihak kedua (selanjutnya disebut “pembeli”) mungkin akan lebih baik jika ia mempunyai dua barang yang ditawarkan oleh pihak pertama (selanjutnya disebut “penjual”), namun pihak kedua tetap membayarnya dengan harga untuk satu barang. Dengan demikian, pihak kedua akan bebas menggunakan kedua barang yang terbeli untuk mendapatkan manfaat lain bagi dirinya. Fakta bahwa pihak kedua telah mematuhi yang diperjanjikan sementara pihak pertama juga mematuhi, ternyata tampak lebih menguntungkannya. Situasi dilematik ini begitu menarik secara teoritik, terutama bagi para filsuf moral.

Memang, jika kita tarik ke implikasi lebih jauh dapat terjadi fakta di mana penjual tidak mematuhi yang diperjanjikan, dan pihak pembeli pasti juga tidak menyesuaikan keinginan pihak pembeli, sehingga akan menjadi bodoh jika penjual mau menjual dua barangnya dengan harga untuk satu barang. Jika pihak penjual mematuhi, namun kita menilai bahwa seolah-olah pihak pembeli tidak mematuhi kesepakatan awal, dan kemudian pihak penjual tidak melakukan yang diminta oleh pembeli; apakah hal ini berarti bahwa moralitas itu irasional hanya karena orang mempersoalkan kelakuan pihak pembeli?

Dalam konteks RUU Pilkada, jika Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mematuhi hasil voting pengesahan RUU Pilkada, namun, publik rakyat menilai bahwa seolah-olah Koalisi Merah Putih (KMP) tidak mematuhi kesepakatan awal bahwa Kedaulatan ada di tangan Rakyat, dan kemudian KIH tidak melakukan yang diminta oleh KMP; apakah hal ini berarti bahwa moralitas itu irasional hanya karena orang mempersoalkan kelakuan KMP?

Saat ini, intinya adalah bahwa kebanyakan moralis merumuskan kewajiban semata dari asumsi tentang kewajiban. Tapi mana asumsi yang asli, kita tidak diberitahu. Mungkin kita diberitahu bahwa pertimbangan moral itu datang dari “intuisi”, tetapi sebenarnya ini hanya cara lain untuk tidak menjawab yang dipertanyakan publik/rakyat. Yang terjadi adalah, dengan mengatakan bahwa publik rakyat yang menggugat hanya mengandalkan pada kebenaran moral, mungkin alasan untuk menyanggahnya adalah penegasan bahwa kebenaran moral bukan kebenaran hukum alias ilegal. Hal penting yang kita harus tahu, bagaimanapun, adalah mengapa publik/rakyat bereaksi seperti itu?

Jika kita ingin menjawabnya, kita perlu analisis moral. Dan ini tidak terlalu sulit untuk melakukannya. Moral adalah aturan atau persyaratan, di mana otoritas mengatasi pribadi-pribadi. Moral adalah aturan yang mengharuskan bahwa semua pribadi menaati. Untuk menunjukkan bahwa moralitas yang diusulkan adalah wajar, maka, kita perlu menunjukkan bahwa setiap orang menjadi pihak yang diminta untuk mematuhi atau setidaknya memiliki alasan untuk mematuhi. Dan alasan itu harus sudah ada, sehingga hampir tak ada ruang bagi alasan lain yang datang kemudian untuk melanggarnya. Pandangan kontraktarian melihat hak yang dapat mengatur prinsip untuk memainkan peran moral melalui premis bahwa setiap orang –-setelah melihat prinsip-prinsip yang diusulkan berdasarkan sudut pandang yang berlaku sebelumnya– dapat melihat bahwa mereka akan melakukan secara lebih baik jika semua orang, termasuk dirinya sendiri, sesuai dengan prinsip-prinsip yang disepakati sebelumnya.

Dengan demikian, penggugat adalah representasi dari “semua orang termasuk dirinya sendiri.” Untuk diingat –ini esensi dari moral yang mengklaim otoritas— untuk menolak apa yang kebetulan diinginkan oleh segelintir orang yang mau tak mau harus berbenturan dengan apa moral yang mereka ingin lakukan. Sekarang, pada titik ketika publik rakyat menolak, tampak seolah-olah moral tidak menguntungkan bagi segelintir orang.

Di sisi lain, dengan mengesampingkan suara aspirasi dari publik rakyat, segelintir orang itu sangat meraup keuntungan. Biasanya moral –selanjutnya saya sebut “moral publik— adalah demi keuntungan semua orang selain segelintir orang; tapi tentu saja, setiap orang dari kita adalah orang “selain segelintir orang” selama dan sepanjang waktu. Kita semua, yang berada dalam posisi sebagai penerima manfaat dari kepatuhan orang lain, lebih sering dan jauh lebih penting daripada ketika kita berada dalam posisi yang dikenai moral.

Mengambil contoh salah satu yang paling kentara dan paling mendasar dari semua aturan-aturan moral, misalnya: aturan yang melarang membunuh orang yang tidak bersalah. Dalam contoh ini, baik sekarang maupun seterusnya, mungkin, akan berguna bagi Anda untuk membunuh orang lain yang bersalah. Misalkan saja, moral bilang bahwa Anda tidak bisa melakukan pembunuhan apa pun alasannya, maka pada kesempatan itu, moralitas tersebut menghilangkan kesempatan Anda untuk memanfaatkan moralitas tentang larangan membunuh orang yang bersalah.

Sementara itu, bagaimanapun, rasa keadilan secara moral itu memberi keuntungan bagi orang lain untuk membunuh Anda jika Anda bersalah. Moralitas bahwa bahwa orang tidak bisa melakukan pembunuhan apa pun alasannya menghalangi orang itu dari manfaat untuk membunuh Anda; tapi dengan sendirinya hal itu juga berarti bahwa ia menyediakan manfaat bagi Anda untuk tidak dibunuh. Jika ditarik lebih jauh, ini juga mengatakan bahwa ia menyediakan kehidupan bagi Anda.

Nah, mana yang lebih baik ia sediakan? Ia menyediakan manfaat bagi Anda untuk tidak dibunuh atau ia menyediakan kehidupan bagi Anda? Anda harus memutuskan, dan memutuskan itu sesuai dengan nilai-nilai Anda sendiri.

Dalam kontes sengketa RUU Pilkada, jika Anda beranggapan bahwa gugatan atas opsi Pilkada via DPRD, yang pro-pembunuhan kedaulatan rakyat, memberi Anda manfaat agar kedaulatan Anda sebagai bagian dari rakyat tidak dibunuh, maka gugatan itu juga menyediakan kesempatan bagi hidupnya kedaulatan Anda sebagai bagian dari rakyat. Sebaliknya, jika Anda beranggapan bahwa gugatan itu tak memberi Anda manfaat hidupnya kedaulatan Anda sebagai bagian dari rakyat, maka dengan sendirinya gugatan itu harus Anda lawan demi hak-hak libertarian Anda baik untuk melakukan pembunuhan politik sekaligus euthanasia politik melalui pembunuhan terhadap kedaulatan Anda.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *