Categories
Begini Saja

Kestabilan Emosi sebagai Indikator Kepemimpinan

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari post Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di laman Kompasiana, Opini, “Kestabilan Emosi sebagai Indikator Kepemimpinan”, 2 Juni 2014.

Berdasarkan berbagai amatan, hasil asesmen, konsultasi dan riset selama saya 16 tahun terakhir berpraktik melayani 21 ribu lebih klien di IISA Assessment, Consultancy & Research Centre (http://visiwaskita.com); saya berkesimpulan bahwa orang yang mengaku pemimpin tetapi mudah tersulut emosinya tak lain adalah “si kerdil yang bermimpi memimpin”. Di sini “si kerdil” secara diametral saya sandingkan dengan “sang pemimpin besar”. Apa bedanya antara keduanya?

Pemimpin besar adalah mereka yang secara konsisten menampilkan integritas dan karakter tanpa melakukan dalih/rasionalisasi atas apa yang terjadi dalam hidup mereka: entah kesulitan, kontroversi, kegagalan, dan kekalahan. Ia tidak menjadi kerdil dan emosional menghadapi semua ini sehingga mampu membangun kredibilitas pribadi yang mendalam di mata para konstituen.

Pemimpin besar mampu menunjukkan tindakan yang ia ambil sebagai ekspresi dari kejujuran pada dirinya sendiri dan konsistensi antara kehidupan pribadi dan kehidupan publik. Ia mampu menunjukkan konsistensi antara pidato publik dan pidato pribadi. Banyak pemimpin terdengar mengesankan, tetapi pada saat yang sama melakukan perusakan kredibilitas mereka karena tindakan mereka gagal untuk mencerminkan kata-kata mereka. Kegagalan untuk menjaga konsistensi juga menunjukkan bahwa emosi mereka mudah tersulut baik dari dalam maupun luar. Dalam beberapa kasus tindakan pemimpin yang ‘bertentangan dengan pernyataan misi dan visi’ mengakibatkan kebingungan bagi para konstituen.

Pemimpin besar mampu menyerap aspirasi semua konstituen tentang keadilan yang konsisten. Ia sangat kritis terhadap persepsi kronisme dan kecenderungan menggunakan politik internal dan “emic” untuk mengembangkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia mampu melakukan transparansi dalam melakukan pengelolaan sumber daya apa pun. Kegagalan dalam hal ini juga menjadi indikator tentang kerentanan emosi yang mudah tersulut.

Pemimpin besar mampu memproduksi, menanamkan dan mengembangbiakkan ide-ide, keyakinan dan nilai-nilai personalnya ke dalam diri orang lain. Ia mampu mempersatukan faksi yang berbeda atau bertentangan, dan meminimalisasikan penggunaan wewenang dan kekuasaan secara represif. Ini juga menjadi indikasi dari kestabilan emosinya.

Pemimpin besar berkomitmen pada keunggulan yang ia kerjakan dengan penguasaan dalam pelaksanaan rencana di semua lini organisasi. Ia menakar tindakannnya dengan mempertaruhkan akuntabilitas di semua tingkatan, di mana khusus tanggung jawab dalam hal ini tidak ia delegasikan. Ia menyambut permintaan pertanggungjawaban dan membangun rasa percaya diri justru karena mengambil tanggung jawab atas apa yang terjadi. Keunggulan yang hendak ia capai pun tidak sekadar diwujudkan sembari menjiplak dari sana-sini, tetapi ia kerjakan mulai dari hulu sampai hilir dengan pemantauan penuh sampai terwujud “master piece” yang orijinal. Setelah masterpiece terwujud, ia pun akan memastikan agar semua replikasi dan multiplikasi yang akan ia kerjakan sesuai dengan rencana awal. Semua ini menjadi landasannya untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Gilirannya, pertanggungjawaban ini membuatnya percaya pada keunggulan dibalik apa yang ia lakukan, selanjutnya ia menilai diri layak dan mempercayai dirinya sendiri sebagai diri yang akuntabel dan tidak defensif ketika dipertanyakan dan diuji dari berbagai pengujian (finansial, kemanfaatan publik, dsb.). Lagi-lagi ini menunjukkan betapa emosinya stabil.

Kestabilan emosi seorang pemimpin besar juga ditunjukkan dengan gairah yang kuat untuk membangun hubungan emosional dengan konstituen kunci, terutama yang akan ia butuhkan selama masa-masa sulit. Pemimpin besar mampu menahan diri dan kontrol emosi justru karena kepercayaan dari semua konstituen kunci ini.

Catatan:

Tulisan ini merupakan penyempurnaan dari salah satu status Facebook yang saya unggah hari Minggu, 1 Juni 2014, pk. 12.17 am. Tulisan ini saya maksud juga untuk memperkaya tulisan dr.Andri,SpKJ,FAPM (http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/06/01/kampanye-pilpres-dijelang-psikosomatik-datang-656067.html) dan Deddy Kristian Aritonang (http://politik.kompasiana.com/2014/05/30/jokowi-vs-prabowo-3-0-661404.html).

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *