Categories
Begini Saja

Korupsi Bersama Tiga Saudaranya

Dalam perspektif psikologi politik, korupsi, pemerasan, upeti, dan penghilangan bukti adalah empat unsur kriminalitas yang ibarat hubungan saudara kandung. Keempat bersaudara ini tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang sama, yang dalam hal ini adalah keluarga ‘sikap tidak etis dan tindakan kriminal’.

Korupsi, sebagai ‘kakak tertua’, seringkali menjadi awal mula permasalahan, merusak kepercayaan publik dan integritas sistem. Pemerasan, ‘adik kedua’, mengambil keuntungan dari ketakutan dan kelemahan orang lain, memperdalam kerusakan yang sudah ada. Upeti, ‘adik ketiga’, mendistorsi pasar dan merusak persaingan sehat dengan memberikan keuntungan yang tidak pantas kepada yang berkuasa. Terakhir, penghilangan bukti, ‘adik termuda’, memungkinkan ketiga ‘saudaranya’ bertahan, dan memastikan siklus destruktif ini berlanjut. Pemahaman tentang ‘persaudaraan’ ini mungkin memudahkan orang untuk lebih mewaspadai hegemoninya dalam pelataran publik.

SYL versus FB

Sejauh merangkum fakta yang beredar lewat media terkini, berkembang pemahaman bahwa SYL menyampaikan laporan ke Polda Metro Jaya melalui ‘surat anonim’, karena pada waktu diperiksa KPK SYL diduga sudah memberikan uang kepada Ketua KPK via perantara sebesar 1 miliar dolar agar tidak menjadi tersangka. Merasa “aman”, SYL berangkat ke Roma Italia untuk memenuhi rapat terkait pertanian. Fakta bahwa akhirnya ia menjadi tersangka membuat SYL marah besar karena FB sudah melanggar janji, sehingga SYL membuat laporan ke Polisi Polda Metro via surat kaleng atas tuduhan pemerasan.

Dengan asumsi bahwa data tersebut akurat, beberapa potensi dinamika dapat ditemukan dengan melihat situasi ini melalui kacamata psikologi politik. Di satu sisi, SYL mungkin membesar-besarkan rasa amannya dengan memercayai “perlindungan” yang dibayarnya dengan uang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam lingkungan politik di mana SYL berselancar, pemberian suap mungkin dianggap sebagai hal yang biasa.

Sebaliknya, FB bisa saja menyalahgunakan jabatannya jika memang fakta membuktikan bahwa ia menerima uang tersebut. Meski berisiko membuat SYL kesal, ia mungkin merasa harus menjunjung tinggi moralitas dan hukum. Pemberitaan SYL terkait FB dapat dianggap sebagai bagian dari taktik politik untuk mencemarkan nama baik dan mengalihkan perhatian. Hal ini dapat dilakukan sebagai bentuk perlindungan atau sebagai cara untuk mendapatkan kembali wewenang dan kendali yang hilang.

Hubungan Kekuasaan

Dalam perspektif keadaan seperti ini melibatkan hubungan kekuasaan, taktik penjarah hukum, persepsi publik, dan rasa keadilan pribadi. Dengan asumsi fakta media di atas tidak cacat data, dapat diajukan beberapa sudut telaah.

Pertama, untuk menghadiri pertemuan, SYL mungkin merasa aman dan cukup percaya diri untuk melakukan perjalanan ke Roma, Italia. Hal ini dapat mengindikasikan adanya kenaifan atau arogansi politik pada tingkat tertentu, atau mengindikasikan adanya kesalahpahaman mengenai fungsi sistem hukum.

Kedua, secara langsung atau tidak, FB didakwa melakukan tuntutan transaksi tidak etis. Dan jika ini benar, hal ini menunjukkan korupsi dan penyalahgunaan wewenang tingkat tinggi. Hal ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga pemberantasan korupsi.

Ketiga, penunjukan “surat anonim” pada laporan SYL ke Polda Metro Jaya dapat mencerminkan pandangan masyarakat terhadap penggunaan sistem hukum atau manipulasi hukum untuk tujuan politik.

Keempat, rasa keadilan subjektif yang tidak rasional yang mendasari kemarahan SYL setelah ditetapkan sebagai tersangka merupakan indikasi bagaimana ia merasa dikhianati atau diperlakukan tidak adil.

Hipotesis [Bukan Prediksi]

Ada sejumlah hipotesis yang dapat dibenarkan berdasarkan kejadian dua pihak yang sedang berkonfrontasi, SYL versus FB, pun yang keduanya sedang diposisikan sebagai tersangka ini. Tentu, hipotesis ini bukan prediksi.

Pertama, terjadi miskomunikasi atau manipulasi informasi. Kemungkinan SYL salah memahami janji FB atau FB tidak pernah berjanji, dan ini merupakan upaya SYL untuk mencemarkan nama baik FB. Kedua, SYL melakukan kesalahan dengan menaruh kepercayaan pada orang yang salah ketika mengaku bisa mengendalikan situasi agar dirinya bisa lepas dari pengawasan KPK. Hal ini menunjukkan bagaimana keputusasaan dan ketakutan SYL terhadap sistem hukum dapat mengakibatkan pilihan yang buruk.

Peristiwa ini menunjukkan pentingnya kekuasaan, pengaruh, dan manipulasi dalam ranah politik dari sudut pandang psikologi politik. SYL mungkin merasa tidak berdaya dan takut dengan potensi dampak negatif penyidikan KPK yang membuatnya mengambil tindakan drastis dan berpotensi merugikan. Situasi ini juga mempertegas ketidakpercayaan dan kecurigaan yang ada antara masyarakat dan institusi, yang dapat merusak keharmonisan dan stabilitas politik.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Buku terbarunya yang ia tulis bersama Audifax berjudul “Membaca Identitas: Multirealitas dan Reinterpretasi Identitas” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2023). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

2 replies on “Korupsi Bersama Tiga Saudaranya”

Korupsi adalah kejahatan, itu sangat benar. Beyond, ada banyak tangan campur yang menyebabkan seseorang – finally – korupsi. Bisa jadi itu diperintah, atau diumpankan, atau faktor greedy terhadap kekuasaan. Rekam jejak seseorang bisa dilihat, bagaimana seorang Angelina Jolie, eh..yang satunya, pada akhirnya terseret-seret kejadian yang juga terkait korupsi. Jerat regulasi di Indonesia, ruwet bin semrawut, sehingga seseorang yang menjadi bagian dari mata rantai birokrasi, akhirnya terjerat kasus korupsi. Apalagi jika menyangkut kepentingan keberpihakan, bagi yang tidak berpihak, maka akan dijadikan tersangka atau terperiksa atau perpidana bahkan. Apakah memang demikian? Dan kemana bapak Harun Masiku sampai saat ini hilang tidak ketahuan rimbanya? Seperti Edi Tanzil yang juga hilang entah ke mana.
Semoga semakin baik negaraku, negara kita semua; Indonesia Raya.

Dr. Nugroho Dwi Priyohadi yang gercap, terima kasih tanggapannya.

Satu cermatan menarik dari Anda dan perlu saya “tendang ke arah gawang” adalah ihwal “kepentingan keberpihakan”. Menurut Anda, “….bagi yang tidak berpihak, maka akan dijadikan tersangka atau terperiksa atau perpidana bahkan.” Ini crop yang menarik. Seperti apakah alur logikanya?

Dalam psikologi politik, situasi yang Anda gambarkan dapat dijelaskan dalam kerangka gagasan dominasi dan kekuasaan. Peningkatan kekuasaan seringkali disertai dengan perilaku tertentu, seperti korupsi, pemerasan, penyuapan, dan perusakan barang bukti, terutama ketika sistem hukum rusak atau bergantung pada satu orang atau sekelompok kecil orang. Perilaku seperti ini sering digunakan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan untuk mempertahankan dan meningkatkan kendali mereka atas orang lain dengan menyatakan kesalahan mereka atau bahkan menjatuhkan hukuman pidana kepada mereka.

Di sisi lain, psikologi politik juga menjelaskan bagaimana individu yang netral bisa menjadi korban. Di sini, bias konfirmasi berperan: individu memiliki kecenderungan untuk menafsirkan dan menyimpan informasi yang mendukung keyakinan dan sudut pandang mereka yang sudah ada sebelumnya. Ketika ada keberpihakan, pihak yang mendukung salah satu pihak mungkin menganggap pendukungnya sebagai ancaman dan mungkin memperlakukan pihak yang bukan pendukungnya sebagai tersangka atau target kriminal. Ini adalah contoh lain dari penyalahgunaan kekuasaan, di mana kelompok yang tidak memihak akan dirugikan karena mereka menolak untuk mendukung satu pihak dalam sistem yang tidak jujur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *