Categories
Begini Saja

Lelang Kedaulatan Rakyat via Machiavellianism

Machiavelli menulis, tujuan kekuasaan politik adalah untuk mempertahankan dirinya sendiri dan demi memperpanjang kekuasaan itu sendiri. Ini tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Ini tidak ada hubungannya dengan prinsip atau ideologi atau benar dan salah. Kesejahteraan rakyat, prinsip, ideologi, salah benar –ini terkait dengan sarana sampai akhir– tetapi tujuannya adalah kekuasaan. Lakukan apa saja untuk menjaga kekuasaan dan memperpanjang kekuasaan Anda. [Jim Baumgaertel, Editor Procinwarn.com]

“Kekuasaan” adalah istilah yang berasosiasi dengan kekerasan dan pemaksaan yang melibatkan uang (finansial), pembuatan keputusan (politik), dan otot (militer). Dalam psikologi, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan mengubah kondisi atau pikiran orang lain dengan mengimingkan sumber daya seperti: makanan, uang, pengetahuan, dan kasih sayang; dan hukuman, seperti: kesakitan fisik, penghentian kerja, atau pengucilan sosial.

Demi kekuasaan, kedaulatan rakyat telah dilelang dengan harga 226 suara dari angka negosiasi 381 suara. Padahal, andai 134 suara yang memutuskan walk-out masuk dalam negosiasi, mungkin angka negosiasi terakhirnya akan menjadi 361 melawan 226. Isu yang berkembang, pilihan 134 suara Demokrat yang walk out dari sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada pada 26 September lalu karena adanya perjanjian kursi pimpinan MPR dengan Koalisi Merah Putih, meski hal ini dibantah oleh Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan.

Bantahan atas isu itu dilakukan dengan distraksi yang sengaja dibuat oleh Presiden SBY yang meneken Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden SBY, yang juga Ketua Umum Demokrat, menandatangani dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk menganulir beleid yang menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung itu.

Yang menarik kemudian, kendati Syarief Hasan membantah, SBY justru mengakui adanya perjanjian dengan Koalisi Merah Putih (KMP) terkait peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Pilkada, sehingga hal ini menjadi fakta di balik bergabungnya Demokrat ke KMP. Sementara, di pihak KMP, baik PAN, maupun PPP juga mengakui telah menandatangani perjanjian dengan Ketum Partai Demokrat (PD) soal Perppu Pilkada. PPP akan mendukung Perppu itu asal isinya baik untuk rakyat.

Apakah pagi ini –saat tulisan ini dibuat- kursi pimpinan MPR akan jatuh lagi ke tangan KMP? Yang jelas, KMP sudah memenangkan 3 gol, yaitu: UU MD3, UU Pilkada, dan pemilihan pimpinan DPR. Tiga kemenangan ini menunjukkan, kubu KMP serius mengunci pemenang pemilu legislatif dan pilpres 2014. Kendati Peneliti Senior Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, mengatakan bahwa dunia politik memang tidak bisa dilepaskan dari konteks perebutan kekuasaan, tetapi dalam dunia politik ada etika. Ironisnya, masalah etika inilah yang secara berjamaah didaku oleh semua pihak sebagai hal yang sudah melekat pada pertimbangan mereka sebelum menentukan tindakan, termasuk oleh SBY yang mengakui etika politik KMP dengan mengatakan bahwa ia mempercayai KMP.

Pertanyaannya, benarkah Etika dan Politik dapat berangkulan? Sejauh manakah Etika realistis di tengah derasnya pusaran gelombang Realpolitik?

Etika Politik, Hypermoralism, dan Machiavellian

Bahwa manusia sebagai pelanggan kekuasaan rentan terhadap iming-iming sumber daya tertentu dan cenderung menghindari hukuman menunjukkan, manusia tak sekadar ingin mendapatkan kehidupan kekal, tetapi juga kekuasaan politik di dunia ini secara langsung. Untuk itu, manusia sering melupakan impian tentang kehidupan kekal dan menggantinya dengan usaha habis-habisan untuk menggenggam kekuasaan yang bersifat fana, kekinian, konkret, dan menyertakan praktik ketidakadilan. Jalan pintas untuk menjadi adil adalah melalui tindakan dengan pembenaran “demi mengamankan dan memajukan kepentingan politik dan kesejahteraan masyarakat”.

Di sini menjadi jelas, Politik adalah cabang khusus dari Etika sehingga Etika Politik tak identik dengan Etika pribadi. Kebajikan politik cenderung menjadi tujuan relatif utama yang bermaslahat secara duniawi namun secara tidak langsung lebih mengait dengan tujuan akhir kehidupan manusia. Dengan demikian, karakter moral otentik yang pada saat yang sama merupakan kualitas Etika Politik terejawantahkan melalui cara seseorang menggenggam kekuasaan, yakni sejauh mana kesuksesan berebut kekuasaan merupakan bagian dari tindakan politik.

Di sini pula, ketika yang diterapkan adalah kaca mata pandang hypermoralism, jika tak menjadi praktikalitas ekstrim, Etika Politik menjadi idealisasi ekstrim, sehingga bertentangan dengan hakikat Etika Politik itu sendiri. Demi pemurnian Pancasila, misalnya, rezim Soeharto memberlakukan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4); atau tak terbelenggunya ormas-ormas Islam, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak mau berkompromi soal asas tunggal Pancasila yang diatur di RUU Ormas. Baik hypermoralism yang berdalih memurnikan, maupun machiavellianism yang mencampakkan Pancasila, keduanya sama-sama memuja kekuasaan, meski secara habis-habisan berusaha meyakinkan konstituen tentang kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat.

Manakala keadilan politik dicerabut dari Etika –sebagaimana dalam Machiavellianism– atau disandarkan pada pemujaan tanpa akal –sebagaimana dalam Hypermoralism– kekuasaan sebagai jalan mengusahakan keadilan politik harus hanya diterima, baik sebagai struktur, kebiasaan tetap, maupun perasaan yang dipastikan mampu menciptakan kehidupan sosial yang diinginkan; sehingga, dengan demikian, seolah tidak perlu dipertanyakan. Dengan cara kerja ini pula, salah satu dari kedua jalan –Machiavelianism atau Hypermoralism– akan diperlakukan sebagai faktor “fisiko-moral” yang harus melingkupi kehidupan masyarakat seraya mengabaikan etika politik atau perhitungan politik lain yang dicurigai sebagai lebih buruk. Yang dipentingkan adalah keberhasilan dan kesejahteraan masyarakat, terlepas dari apakah cara untuk mencapainya bersimbah darah ketidakadilan bahkan kekejaman.

Jadi, baik Machiavellianism, di satu sisi, maupun Hypermoralism, di sisi lain; keduanya sama-sama  menghancurkan keadilan politik yang merupakan kebenaran moral, kebajikan moral dasar, dan kekuatan spiritual masyarakat. Keduanya mematikan baik Etika maupun Politik, sebab Etika pada dasarnya realistis. Bukan dalam arti sebagai Realpolitik, tetapi sebagai realitas manusia yang menginginkan kebaikan bersama sesama manusia dan diwujudkan melalui Politik. Kekurangan dan kelemahan apapun pada manusia dapat membebani, sehingga harus dilakukan upaya melalui pengetahuan untuk menentukan yang benar dan penting sekaligus. Di sinilah Politik tak dapat dilepas-kaitkan dari Etika.

Antara Sindiran dan Anjuran

Machiavellianism sendiri tidak menunjuk ke perbuatan politik jahat dan batil (tak adil) yang disebabkan kelemahan atau kejahatan manusia. Dari genealogi pemikirannya, Niccolo Machiavelli dengan bukunya, The Prince, tidak bermaksud menyindir dan sok moralis. Ia jujur​​. Dari pengamatannya, ia menulis apa yang ia cerap sebagai kenyataan, yakni tentang bagaimana ulah para pemimpin, khususnya Borgias pada zamannya. Keabadian karyanya menunjukkan pengamatan yang jeli dan benar.

Tujuan Machiavelli juga tidak untuk memberikan anjuran atau panduan tentang bagaimana penguasa menilai situasi dan menentukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Machiavellianism adalah filsafat politik yang menyatakan bahwa hak politik yang baik, entah pada praktik politik yang baik atau jahat, secara moral menunjuk pada modus memanfaatkan.

Modus memanfaatkan dapat dilihat dari seorang dengan kuasa yang tidak harus bertindak secara langsung, asalkan ia memiliki kapasitas mempengaruhi orang lain. Anak dapat berkuasa atas orang tua saat mereka merengek. Pemimpin agama berkuasa ketika berkhotbah, tetapi bukan dalam konteks lain seperti ketika terbaring di rumah sakit. Seseorang yang berkuasa tak harus mengendalikan, memaksa, atau mendominasi; kecuali ia mulai melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

Jadi, kekuasaan bukanlah sesuatu yang berlaku terbatas hanya pada individu yang haus kekuasaan atau organisasi, tetapi juga merupakan bagian dari setiap interaksi sosial di mana para partisipan memiliki kapasitas untuk saling mempengaruhi. Kekuasaan juga bukan sesuatu yang harus dihindari atau harus mendominasi dan menghasilkan respon kepatuhan. Ketika para partisipan mencari titik persamaan pun, yang terjadi adalah pencarian keseimbangan dalam kekuasaan, bukan penihilan kekuasaan. Persetujuan dan kesepakatan tak paralel dengan kepatuhan, meski termasuk dalam resultante dari kekuasaan.

Kemampuan seseorang mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, bahkan dalam kelompok kecil sekalipun, tergantung pada kemampuannya untuk memahami dan menangkap tujuan konstituen. Pada hewan primata, kekuatan sosial didasarkan bukan semata pada pamer kekuatan, pemaksaan, dan pendahuluan diri sendiri yang tak terkendali; tetapi pada kemampuan bernegosiasi di tengah konflik untuk menegakkan norma kelompok dan mengalokasikan sumber daya. Hewan primata yang mencoba menggenggam kekuasaan dengan mendominasi pihak lain dan hanya memprioritaskan kepentingan sendiri niscaya ditentang dan, pada waktunya, digulingkan oleh pengikutnya.

Proses menguasai yang paling hierarki sekalipun masih ditandai dengan interaksi yang dinamis, menyenangkan, dan melibatkan konstituens melalui rasa hormat satu sama lain. Seseorang yang menempati hierarki kekuasaan adalah yang mampu melibatkan diri secara sosial sehingga cepat menaiki tangga kekuasaan melewati jajaran hierarki yang muncul. Jokowi, Kalla, Chairul Tanjung, Dahlan Iskan adalah figur yang dapat menggambarkan kualitas ini. Di sinilah kecerdasan sosial diperlukan, di mana orang-orang dengan ultra-sosiabilitas tinggi mampu mencapai sebagian besar tugas yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan reproduksi sosial masyarakat, mulai dari merawat hingga memproduksi pangan dan papan. Rakyat memberikan kekuasaan hanya kepada mereka yang terbaik dalam melayani kepentingan mereka.

Berbagai studi menunjukkan, pemimpin yang memperlakukan konstituen dengan hormat, rela berbagi kekuasaan, dan membangkitkan rasa kebersamaan dan kepercayaan adalah pemimpin yang dipersepsikan sebagai lebih adil dan bijak. Kecerdasan sosial sangat penting tidak hanya untuk mendaki tangga kekuasaan, tetapi untuk mempertahankannya. Mereka yang bertahan memimpin adalah yang melibatkan diri secara sosial. Cameron, misalnya, menemukan individu yang sederhana dalam memperlakukan kekuasaanlah yang mampu mendaki hierarki sembari mempertahankan status dan rasa hormat dari konstituensnya, sementara individu yang berambisi meraih kekuasaan dengan kehausan cepat jatuh ke anak tangga paling bawah.

Cara-cara Machiavellian, yang dicirikan dengan menipu, memfitnah, mengintimidasi, dan merusak orang lain dalam mengejar kekuasaan sebenarnya tidak mendaki ke posisi kekuasaan. Sebaliknya, konstituens akan segera menyadari bahwa kehadiran para Machiavellian akan merugikan konstituens dalam mengejar kepentingan mereka sendiri, dan konstituens segera akan mempertanyakan reputasinya sebagai pihak yang membahayakan dan tidak layak memimpin.

Ternyata kerjasama dan kerendahan hati tidak hanya merupakan cara etis untuk mendayagunakan kekuasaan, bahkan para pemimpin dengan kecerdasan sosial tinggi tidak hanya melayani kepentingan konstituens, tetapi juga terampil mencari posisi kekuasaan dan mempertahankannya. Mendayagunakan kekuasaan tidak harus ditempuh dengan melelang kedaulatan rakyat, tetapi dengan mencari dan mempertahankan kekuasaan dengan kecerdasan sosial.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *