Categories
Begini Saja

Menyoal Kiprah Kaum Muda sebagai Pengembang Civil Society, Suatu Tinjauan Psiko-Sosio-Historis

Orang Muda dan NGO

Gagasan civil society (CS) mulai meniti popularitasnya semenjak tahun 1989. CS difungsikan sebagai ideologi sekuler baru,[1] menjadi semacam blok bangunan argumentasi yang mampu mendefinisikan apa yang disebut sebagai sebuah masyarakat yang baik, masyarakat yang mampu memberi nilai pada martabat manusia tanpa pandang usia, ras, kecacatan, atau aspek-aspek lain dari latar sosial.

Pendeknya, CS dipromosikan sebagai ideologi yang memungkinkan lahirnya kapasitas kepemimpinan dalam komunitas yang, jika diolah dan dipelihara, mampu mentrasformasikan gagasan-gagasan demokrasi dan membentuk keseimbangan kekuasaan ke dalam inklusi sosial, keadilan, kemartabatan, kesamaan dalam kesempatan dan respek  yang lebih besar.

CS dianggap sebagai komplemen pasar, yang mampu menciptakan ‘social capital‘—lem perekat yang mengikat orang-orang bersama-sama dalam hubungan-hubungan—dan menambahkan sebuah makna bagi kehidupan manusia lebih dari, dan di atas, peran mereka sebagai produser ekonomi atau konsumer.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana penyebaran yang membuat gagasan CS ini merebak? Rupanya ini terkait dengan apa yang Lester Salamon sebut sebagai ‘associational revolution‘ –peningkatan tajam dalam aktivitas kehendak yang terorganisasikan ke dalam setiap sudut globe, yang mewujud sebagai organisasi-organisasi non-govermental (NGO), yaitu organisasi-organisasi yang melakukan pelayanan kemanusiaan, yang meruyakkan pengembangan akar rumput, yang mencegah terjadinya degradasi lingkungan, dan yang memproteksi hak-hak sipil.[2] CS lantas menjadi sebuah paradigma baru bagi sebagian besar institusi pembangunan utama, seperti World Bank dan Masyarakat Ekonomi Eropa, juga lembaga-lembaga karitas internasional lainnya.

Antara Lompatan Paradigmatik dan Ritus Metodik

Sayangnya, meski paradigmanya sudah berubah sehingga dunia seakan menjadi pro-CS, metode yang diterapkan untuk mengembangkann belum berubah. Alan Fowler[3] menyindir, selama dasawarsa 90-an sistem bantuan yang ada telah mengembangkan semacam ‘mirror view‘ tentang CS, yakni diciptakannya institusi dan organisasi yang memproduksi dan menganak-pinakkan demokrasi Barat dengan pemikiran tentang konteks yang sama sekali berbeda dari konteks Eropa Timur.[4]

Sebagai akibat, terjadi tujuh kekeliruan di negara-negara Timur berkaitan dengan balada pembangunan. Ketujuh hal itu ialah (1) pembangunan tanpa infrastruktur, (2) pembangunan tanpa partisipasi, (3) pembangunan tanpa lingkungan, (4) pembangunan tanpa kepedulian pada kaum miskin, (5) pembangunan tanpa kejelasan tentang apa yang hendak dicapai, (6) pembangunan tanpa mobilisasi, dan (7) pembangunan tanpa keikutsertaan perempuan.[5]

Adakah cara menghindari ketujuh kekeliruan tersebut? Tampaknya tidak. Sebab negara-negara Asia bahkan telah mengikuti suatu pola pembangungan ekonomi tertentu. Negara-negara itu telah terbangun melalui cara yang relatif sederhana, yakni melalui industri padat karya dengan upah buruh yang kelewat rendah. Ketika modernisasi dijadikan pilihan, nilai gaji dan tingkat pendidikan sedikit mulai meningkat. Negara-negara itu kemudian berkembang menjadi lebih kompleks dengan industri padat-modal, yang kadang diikuti dengan bisnis padat-karya yang mengambil sasaran negara-negara tetangga yang terbelakang.

Akhirnya negara-negara tersebut memasuki tahapan yang menentukan, yakni masuk ke dalam era teknologi dan layanan yang didasarkan pada basis industri, seperti: komputer, telekomunikasi, software, konsultasi banking, dan keuangan. Sementara, negara-negara Asia Tenggara, seperti Korea Selatan, memberlakukan kontrol politik yang ketat terhadap lembaga keuangan dan ekonomi mereka. Pada tahun 1997 negara-negara ini mengalami ‘gonjang-ganjing/ sebagai akibat strategi mereka yang main hutang tanpa peduli pada bagaimana pengembaliannya.

Memandang kasus negara-negara Asia, para ‘Westerner’ juga mengekspor keyakinan tentang ‘infrastruktur’. Begitu pengembang ekonomi melihat kebutuhan akan jalan, rel kereta api, pangkalan, dan kabel-kabel telegram/telepon; para pengembang CS pun melihat kebutuhan akan informasi, pelatihan, bantuan teknik, kesempatan jejaring, sistem legal yang memadai, kerangka kerja fiskal yang sensitif, dan sebagainya.

Tampaknya di sini terjadi penerapan ‘model pemasok’ dalam proses pembangunan. Filosofi dari pendekatan ini ialah bahwa CS menyediakan infrastruktur sesuai yang dibutuhkan. Tetapi, manakala ‘model ekonomi pemasok’ gagal mengucurkan keuntungan bagi kaum miskin, maka model pemasok dalam CS pun gagal mengembangkan komunitas dan warga negara.

Efek penting dari intervensi Barat dibuktikan dengan kemunculan NGO di kota-kota besar, yang memiliki staf para profesional muda. Mereka menawarkan berbagai program termasuk informasi, nasihat, pelatihan, bantuan teknis, dan kesempatan jejaring. Jumlah orang atau organisasi yang diuntungkan oleh layanan ini relatif kecil. Ada kesenjangan antara aktivis-aktivis NGO terpelajar kelas menengah dan massa penduduk yang tidak punya kaitan dengan NGO.[6]

Steven Sampson menunjukkan satu contoh menarik, di mana satu dari efek utama program Eropa membantu pengembangan CS di Albania telah mengimpor terminologi seperti ‘pengembangan infrastruktur’ (artinya ‘punya komputer’), ‘unit manajemen program (artinya ‘staf suatu kantor’), ‘sustainability’ (artinya ‘proyek yang berkesinambungan’). Sampson menegaskan, setiap orang Albani yang berkeinginan berkarier dalam pengembangan CS harus mau belajar bahasa Inggris sebagai bahasa baru, dan lancar ngomong tentang proyek.[7]

Kepeloporan Sosial Kaum Muda

Kajian sejarah meyakinkan bahwa faktor kunci berkembangnya sektor NGO adalah orang-orang yang mempelopori kemajuan sosial. Kajian tentang para pelopor sosial ini menunjukkan, mereka cenderung bertindak di luar paham kebenaran yang lazim berlaku, tidak mempedulikan kemarahan moral atau relijius karena dimotivasi oleh kebutuhan memecahkan masalah.

Ternyata bukan hanya mereka yang terpelajar yang menjadi para pengembang NGO. Robert Chambers melihat, dengan menggunakan metode participatory rural appraisal (PRA), orang-orang muda dari berbagai negara, dari berbagai setting, baik urban atau rural, menunjukkan kemampuan yang menakjubkan utamanya dalam menganalisis realitas lokal yang kompleks dan beragam. Kadang, pandangan-pandangan mereka terasa ganjil dan tak selaras dengan realitas top-down yang dirumuskan kalangan profesional mapan.[8]

Strategi pengembangan CS yang sukses bergantung pada pembuatan sasaran yang tajam untuk merekrut kalangan lokal sebagai pengembang. Prioritas yang mendesak bagi pemberi dana ialah didapatkannya uang melalui gerakan akar rumput atau grassroots. Hal ini memunculkan berbagai strategi, seperti perancangan skema pendanaan untuk mendukung upaya-upaya lokal dalam penggalangan koalisi, kampanye, advokasi, dan kerja-kerja lain yang mengarah pada penemuan sebab paling akar dari ketidakadilan.

Historisitas Konsepsi Civil Society

Awalnya, atau secara tradisional, civil society (CS) dikonseptualisasikan sebagai satu-satunya kondisi yang dipersyaratkan bagi terbentuknya negara demokrasi. Pemikiran ini kemudian berkembang dengan akibat bahwa CS menjadi salah satu syarat, karena masih ada syarat kedua: kewarganegaraan.

Lebih lanjut, argumen pokok dari perkembangan konsep ini ialah, bahwa demokrasi tak dapat tidak ditopang oleh tiga unsur penting yang interdependen secara dimensional: (1) civil society (CS), (2) the state (S), dan (3) ethnicity (ET). Ketiganya, CS, S, dan ET, saling berhubungan secara sinambung dan interaktif. Ketiganya, meski berbeda dalam peran dan fungsi, tetapi dapat saling bertumpang-tindih, saling kontradiktif, bahkan saling membentuk satu sama lain secara dinamik. Dari sini tertangkap kemungkinan bahwa ketiganya bersifat mengalir, berubah-ubah, bahkan konfliktual, tetapi juga responsif.

Jelas dari konfigurasi diatas, diyakinkan bahwa CS tidak dapat dianalisis semata sebagai satu unit yang terlepas dari kontekstualitasnya yang interdependen dengan dua unsur lainnya. Memang ketiganya otonom, tetapi ketiganya saling mempengaruhi. Tentu, di sini diterima bahwa tingkat perbedaan nuansa, isi dan proses CS sangat tergantung pada aksi, aspirasi, kesuksesan dan kegagalan, yang tak semata dapat dijelaskan dari tradisi dan ritual yang melatarinya. Rentang kognitif dan operasional dari CS dengan demikian menjadi jauh dari tak terbatas, tetapi sangat terikat oleh tindakan aktor lain yang sama-sama berlaga dan juga pada cara memahami kesejarahannya sendiri.

Pada perkembangan berikutnya, setelah ketiga unsur penopang demokrasi yang dimensional itu berlaku, di daratan Eropa pada dekade 90-an muncul dimensi keempat: kewarganegaraan internasional. Eropa, organisasi internasional lain, dan aktivitas NGO. Ketiganya tak dipungkiri mempunyai andil dalam membentuk gagasan dan arah perkembangan CS. Dimensi internasional ini, sebagai dimensi keempat, tidak hanya akan saya singgung sambil lalu saja, tetapi akan saya argumentasikan untuk menunjukkan betapa signifikansinya sangat tidak boleh diremehkan. Apa yang telak untuk dipahami dari dimensi ini ialah bahwa hubungan yang digenerasikan oleh keempat dimensi menjadi bersifat kausal, resiprok, dan kondisional; selain harus pula ditengarai dua impak: yang eksplisit dan yang implisit atau asadar.

Dinamika State, Civil Society dan Etnisitas

Saya hendak memulainya dari hubungan antara S dan CS. Di banyak analisis, hubungan antar-keduanya digambarkan sebagai bersifat zero-sum game, sehingga dapat dipostulasikan bahwa makin kuat S, maka makin lemah CS. Apalagi, menurut argumen-argumen libertarian, S secara aktif mencari modus agar dapat menindas CS. Taksiran ini pada hemat saya sangat kaku dan tak dapat digotong untuk memahami realitas di lapangan.

Dengan tekanan pada relasi resiprok antara S dan CS, maka terjadi impak timbal-balik yang signifikan; sehingga untuk sementara saya dapat menarik kongklusi bahwa tidaklah mungkin menghitung probabilitas kesuksesan CS tanpa menghitung S. Warga negara, agen dan subyek politik, secara simultan terbatasi, tetapi juga terproteksi oleh S.

Kenyataannya, S memainkan peran penting dalam menyediakan kerangka kerja integratif, di mana CS beroperasi; dan CS boleh jadi tidak dapat berfungsi karena ketidaktersediaan kerangka kerja ini. Kerangka kerja yang dimaksud tak lain ialah berupa ada-tidaknya kaidah-kaidah yang memungkinkan kontes politik dimainkan, jaminan bahwa kaidah itu dapat diterima sebagai sahih oleh semua aktor, agen dan subyek politik; dan dapat diadministrasikannya kaidah itu ke dalam cara yang netral dan konsisten dengan shared culture yang berlaku di dalam masyarakat.

Termasuk dalam kaidah tersebut ialah the rule of law dan kemampuan S menciptakan suhu koherensi sehingga tanpa ini semua CS serta-merta dapat bermetamorfosa menjadi keliaran (dalam pengertian uncivil) dan secara potensial terpuruk ke dalam bentuk chaos atau anomie. Tetapi, dalam peluang yang sama, CS pun harus memiliki kebebasan dalam berhadapan dengan S, agar dapat mengendalikan terpeliharanya rasionalitas birokratik dari aksi S sehingga mampu mewujudkan keseimbangan antara kelonggaran dan kekakuan birokrasi.

Secara kesejarahan, kewarganegaran moderen —sebagai paket hak dan kewajiban legal, politik, sosial, kultural dan ekonomi, yang mengatur hubungan antara rulers dan ruled— menjadi luaran dari ikhtiar S merasionalkan aktivitasnya sehingga muncul menjadi sosok S yang moderen, yang mulai akselerasinya sejak abad ke-17.[9]

Aktivitas inilah yang memperluas dan mengintensifkan kekuasaan S terhadap populasi di bawah kekuasannya. Dalam artinya yang khas, hal ini merupakan momen kunci. Sebab kemunculan S yang moderen, merasional, dan bersifat intervensionis (ini dapat dilihat dari indikator adanya peningkatan kapasitas mengimplementasikan kemauannya) dapat diartikan sebagai “dikenakannya keseluruhan variasi praktik yang sebenarnya sangat beragam” terhadap teritori yang dijadikan the ruled.

Sebagai akibat, meski di bawah kekuasaan dari the same ruler boleh jadi teritori, di mana the ruled berada, berada di bawah tekanan untuk menjadi lebih koheren, menunggal, sehingga mudah ditangani oleh the ruler. Prosedur administratif, koersif dan ekstraktif, seperti halnya pajak, dihomogenkan atas nama efisiensi yang lebih besar. Di sini, kapasitas S sungguh-sungguh nampak di atas angin.

Tapi marilah kita tengok sisi lain. Transformasi S ternyata memanfaatkan perubahan pada sikap dan respon masyarakat, utamanya dalam arah penerimaan CS terhadap rasionalisasi selain juga tuntutan CS untuk lebih mengontrol monopoli pajak dan koersi yang diklaim S. Modus baru dalam exercising power ini mempersyaratkan modus legitimasi yang baru. Secara krusial, kerelaan universal untuk mau dijadikan the ruled menjadi faktor politik. Faktor ini menjadi faktor radikal, utamanya dalam revolusi, yang dapat ditarik implikasi-implikasinya lebih jauh. Di sini, kedaulattan rakyat menjadi respon yang menentukan bagi intensifikasi kekuasaan S.

Dengan demikian, berfungsinya regulasi S memerlukan masukan lebih besar berupa pengabulan dari CS agar regulasi itu menjadi efisien. Tanpa pengabulan ini pembengkakan kompleksitas pada S hanya akan memperlemah operasinya, sebab selain pembolehan itu meningkatkan koherensi, ia juga menyebabkan kebingungan manakala CS melakukan resistensi baik secara aktif, maupun pasif. S. Jika ingin luput dari tentangan bertubi-tubi yang datang dari kekuatan-kekuatan oposit (yang berasal dari CS), S harus memainkan radarnya untuk menangkap aspirasi para subyek politik yang ia bentuk, meski secara sebagian.

Tanpa pembolehan ini, niscaya S harus memperbaiki dan menyahihkan rasionalitasnya dalam melakukan exercise of power; dan hal ini cenderung bersisi tunggal, tanpa umpan-balik, reduksionistik, sarat kekakuan birokratik, sehingga menjadi tak ramah terhadap gagasan pembaharuan, cenderung menolak teknlogi baru, dan asyik-masyuk dengan kepentingan birokratik dan, yang paling parah, menipu diri dengan cara melakukan exercise of power secara impulsif, kompulsif, dan eksesif.

Makin tinggi pemahaman S tentang resiprositas hak dan kekuasaan[10] untuk semua orang – dibedakan dengan mereka yang memiliki hak-hak ini sebagai privilege yang dibawa sejak lahir – makin terbuka peluang bagi S untuk mencapai bentuknya yang moderen. Legitimasi, dengan demikian, menempuh dua proses. Yang jelas, keduanya bukan semata jalan dinastik atau relijius, pun S sebagai the ruler harus menerima bahwa legitimasi itu tidak abadi dan harus diperbaharui terus-menerus melalui prosedur-prosedur yang transparan.

Pembolehan CS memaksa S memperluas kompetisi antara rasionalitas, aspirasi dan visi masa depan. Di negara yang diperintah oleh monopoli ideologi, misalnya adanya visi tentang harmoni, proses evolusi kontes dan alternatif dimarjinalissikan. S semacam ini cenderung berpihak pada pembangunan mindset birokratik yang diproteksi dengan tatanan hukum yang menguntungkan dirinya sendiri, budaya dan identitas organisasi yang tertutup, untuk menutupi kemungkinan bahwa pihak the ruler digulung oleh kekuatan-kekuatan yang berwenang melakukan pembolehan melalui kompetisi rasionalitas.

Hukum pengabulan (the rule by consent), di pihak lain, membolehkan interaksi berkesinambungan dan dinamik antara pihak the rulers dan the ruled. Masalahnya kemudian ialah, bagaimana mencapai pembolehan di bawah kondisi-kondisi yang baru.[11] Dan secara logik, persoalan pembolehan memunculkan persoalan perbedaan pendapat atau ketidaksepakatan: apa yang harus dilakukan jika sebagian populasi menarik pembolehannya untuk dijadikan the ruled selama periode waktu tertentu, jika secara berulang-ulang menunjukkan keinginan agar diperintah secara berbeda sementara S tak dapat mengubah sistem? Dengan kata lain, persoalan pengabulan memunculkan masalah kepercayaan atau trust, sebab jika di situ tak ada trust, maka pihak the ruler akan sungkan berbagi kekuasaan dengan the ruled, karena takut bahwa mereka akan disapu dan dilikwidasi.[12]

Saya hendak menegaskan, analisis teoritik ini menekankan tentang peristiwa civic contract sebagai instrumen kunci untuk membangun hubungan baru antara the rulers dan the ruled. Ini bukan semata sebuah metafora, tetapi tidak menyediakan jawaban bagi dilema yang dipaparkan di atas. Jawaban harus dicari di tempat lain, sejauh lebih mendalam dan tak semata didasarkan pada pandangan sendiri. Dalam konteks ini, penting memahami proses sosial dan politik tertentu yang cenderung lebih implisit dari pada eksplisit, di mana setiap komunitas dapat memantau regulasi mereka secara terbuka termasuk terhadap modus perilaku, yang  gilirannya membangun fondasi bagi reproduksi kultural.[13]

Proposisi yang saya tawarkan adalah bahwa makin kokoh fondasi pengabulan yang digenerasikan oleh CS kepada S, makin kuat daya ikat pengabulan itu bagi terciptanya titik solidaritas yang manifes di dalam ikatan antar-etnisitas. Jika dijabarkan lebih jauh, manakala seperangkat nilai dan identitas secara luas dibicarakan dan saling terbagi di antara strata sosial yang beragam, sehingga terjadi impak, (1) di mana mereka saling menghormati satu sama lain sebagai keberbagian komunalitas, (2) di mana mereka saling merespon terhadap simbol yang sama, (3) di mana mereka sampai pada pandangan bahwa apa pun dapat memisahkan mereka, dan karena itu mereka dapat saling berbagi tujuan dan kewajiban moral kunci, maka basis bagi redistribusi kekuasaan menjadi urusan yang kurang berisiko.

Dalam kondisi-kondisi pra-moderen, pengabulan berada pada tingkatan rendah sehingga identitas etnik kurang menjadi faktor yang menentukan dalam hubungan antara S dan CS, tetapi pertumbuhan kekuasaan dan kapasitas negara menggenerasikan kebutuhan akan basis trust yang baru. Pertanyaannya, mengapa trust ini lantas dibahasakan sebagai ‘kebangsaan’ (nationhood) sebagaimana ditunjukkan melalui fenomena bahasa politik Eropa? Hak berpartisipasi dalam politik disetujui oleh para anggota dari “natio”, suatu body politic (atau corpus politicum); dan tuntutan yang berkaitan dengan kekuasaan yang kian meluas dari negara moderen adalah bahwa semua subyek yang berdiri sebagai the ruler harus dipertimbangkan sebagai anggota dari “nation”.[14] Pada awalnya, ini adalah konsep civic, tetapi tekanan ke arah retribusi kekuasaan mempersyaratkan bahwa kebangsaan harus mengandung isi etnik. Manakala isi etnik ini tidak ada, retribusi kekuasaan tak dapat mengambil tempat atau S terpecah. Kegagalan kerajaan Prussia sebagai negara, adalah contoh yang sesuai.

CATATAN AKHIR


[1] Knight, Barry (1999), ‘Towards a perfect civil society’.  Online Document: http://www.allavida.org/default.cfm

[2] Lester Salamon (1994) ‘The Global Associational Revolution’, Foreign Affairs, July/August. Online Document: http://www.nvo-onb.ca/salamon.html

[3] Alan Fowler ,dalam Knight, ibid.

[4] Ibid.

[5] The Seven Sins of Development in the Non-Western World. Online Document: http://www.uwplatt.edu/~geography/stradford/asia393/karannw/chapter1.html

[6] Steven Sampson (1996) ‘The Social Life of Projects’, dalam Chris Ham and Elizabeth Dunn (eds) Civil Society: Challenging Western models, Routledge, UK. Online Document: http://www.fcc.sophia.ac.jp/departments/Bus&econ/pdfs/B469.pdf

[7] Ibid.

[8] Robert Chambers (1997) Whose Reality Counts: Putting the First Last, Intermediate Technology Publications, UK. Online Document: http://develop.bento.ne.jp/books/books/first.htm

[9] McNeill, W.H. The Pursuit of Power (Oxford: Blackwell, 1983). Online Document: http://faculty.washington.edu/modelski/evolution4.html

[10] Szucs, Jeno ‘Three Historical Regions of Europe’ in (editor) John Keane, Civil Society and the State (London: Verso, 1988), pp.291-332. Online Document: http://www.logical-operator.com/pl525.html

[11] Orridge, A.W. ‘Varieties of Nationalism’ in (ed.) Leonard Tivey, The Nation-State: the formation of modern politics, (Oxford: Martin Robertson, 1981), pp.39-58.. Online Document: http://www.diba.es/icps/working_papers/docs/Wp_i_164.pdf

[12] Hall, John. Coercion and Consent (Cambridge: Polity, 1994). Online Document: http://www.arts.mcgill.ca/programs/sociology/faculty/Bio%20Updates%2001-02/hall.htm

[13] Douglas, Mary Implicit Meanings (London: Routledge, 1975). Online Document: http://faculty.oxy.edu/tobin/comps/theory.html

[14] Keane, John ‘Nations, ‘Nationalism and the European Citizen’ Filosovski Vestnik/Acta Philosophica, (Ljubljana) Vol.14, No.2 (1993), pp.35-56.  Online Document: http://lgi.osi.hu/publications/books/Diversity_in_Action/3_1.PDF

Tulisan di atas diperiksa dan disunting ulang dari naskah asli. Tulisan aslinya merupakan materi yang disampaikan oleh DR Edy Suhardono sebagai salah satu pembicara/narasumber untuk pada acara Seminar dan Informal Meeting Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia Majelis Mahasiswa STAIN, Tulungagung, Jawa Timur, yang mengambil tema ‘Dinamika Gerakan Sosial Paska Gerakan Reformasi’ pada tanggal 24 April 2002.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *