Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “NARCISSISTIC PERSONALITY DISORDER (NPD)”, 2 November 2016.
Pertanyaan seorang sahabat pena saya, Johanes Djanarko Wibowo, memaksa saya membuka lagi literatur tentang “penipu yang pura-pura menipu atau tidak tahu bahwa yang dilakukan adalah penipuan, di mana perilaku sudah merupakan pola tindakan”.
Dalam literatur psikologi, sosok demikian dikode dengan “Narcissistic Personality Disorder“.
Benar bahwa mereka secara sosial-politik teramati sebagai penipu, tetapi yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa “mereka memiliki pemaknaan yang sangat menyimpang tentang diri sendiri”. Mereka suka mengesankan “kemegahan” atau setidaknya memiliki pendapat dan kemampuan yang berlebihan berdasarkan klaim tentang sifat-sifat positif mereka.
Mereka umumnya sosok yang sangat menarik, cerdas, atau berbakat. Bedanya, mereka terlalu mengonsepkan diri sendiri sebagai elit atau luar biasa dibandingkan dengan orang lain. Terlepas dari status sosial mereka yang sebenarnya, mereka menganggap diri mereka sebagai sangat penting dan mengharapkan orang lain untuk melihat mereka seperti itu.
Sayangnya, rasa kebesaran mereka dengan mudah hancur berkeping karena kritik dari orang lain. Ketika ini terjadi, biasanya mereka menunjukkan kemarahan, penolakan, atau dan menganggap orang lain telah menggusur tempatnya dalam posisi persepsi publik.
Narsisis sangat egois dan hampir tanpa empati kepada orang lain. Mereka berpura-pura sebagai sangat berpengertian, sangat murah hati, dan sangat mementingkan orang lain; meski kepura-puraan ini akan raib manakala mereka sudah berhasil mencapai sasaran. Dan perubahan ini sangat mengejutkan bagi siapa pun yang awalnya merasa tertipu oleh tindakan mereka.
Narsisis menganggap orang lain tak lebih sebagai objek. Orang lain adalah “cermin satu-satunya guna mendapatkan pantulan wajah positif diri mereka”. Ini mereka fungsikan guna mengokang pandangan tentang diri sendiri.
Jadi, betapa sulit untuk menjalin hubungan dengan narsisis. Bisa dipahami, berbarengan dengan kemegahan mereka, mereka juga mengkoleksi orang-orang yang sakit hati dan tidak dapat mengampuni sampai akhir hayat mereka.
Kondisi ini menjadi alasan obyektif untuk menghindar dari hubungan yang tulus dengan narsisis, kecuali Anda siap untuk selalu menjadi pecundang di depan matanya.
Apa pun yang telah mereka lakukan, atau seberapa banyak yang telah mereka raup, mereka tidak akan pernah merasa cukup dan Anda pun tidak tidak pernah benar di depan matanya.
Tautan:
Narcissistic personality disorder.
Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.