Categories
Begini Saja

Psikologi Korupsi dan Introspeksi

Cogito, ergo non existo!  Saya berpikir, jadi saya tiada! Ini sedikit letupan pemikiran saya mendekonstruksi adagium menyejarah dari Rene Descartes, “Cogito, ergu sum!”; setelah saya bergulat memahami fenomena korupsi di negeri dan diri kita ini. Realitas atau Kasunyatan (Jw.) tentang korupsi meyakinkan saya bahwa keterbatasan kesadaran manusia membuat manusia sulit mempersepsikan secara penuh, atau melaporkan secara valid dan reliabel, penyebab dari perilaku yang ia perbuat. Dan berikut adalah beberapa pokok soal yang hendak kita bahas.

Para penganut Freudian menunjuk represi dan mekanisme pertahanan psikologik lain sebagai penjelasan atas kegagalan pemantauan diri. Bahkan andai manusia berada dalam kondisi kesadaran penuh, kesepi-pamrih-an, atau innocence pun, sebenarnya kesadaran manusia hanya mampu mengakses sebagian kecil saja dari proses kognitif.[1] Nisbett dan Bellows[2] bahkan menulis, tatkala manusia berusaha menerangkan perilakunya, “ia tidak mendasarkan pada true introspection”. Dalam studi eksperimental, para partisipan berulang kali gagal mendeteksi faktor eksperimental yang mempengaruhi kemunculan perilaku mereka. Yang lebih mereka sebutkan ialah gugus penyebab perilaku yang tak ada kaitannya dengan respon perilaku riil mereka. Nisbett dan Bellows kemudian mengkonklusikan, “penjelasan” yang dibuat para partisipan tidak didasarkan pada akses yang introspektif, tetapi pada a priori, yakni teori kausal implisit bahwa suatu stimulus tertentu secara masuk akal mempengaruhi perilaku mereka. Inilah yang dalam literatur psikologi sosial dikenali dengan “self-attributions”,[3] di mana orang mudah menyebutkan penyebab yang tak terkait langsung dengan perilaku yang dilakukan, tetapi lebih berusaha memboyong “common sense“ atau “teori awam” tentang lumrahnya sebab dari perilaku yang ditunjuk.

Dari berbagai riset tentang learning, memory, stereotyping, attitude change, dan perception yang saya rujuk diyakinkan bahwa otak manusia memiliki dua cara memroses informasi. Pertama, secara asosiatif (Cara I), dan kedua secara rule-based atau berpijak pada kaidah kognisi tertentu (Cara II).[4] Jika wawasan riset ini hendak dikenakan pada pemahaman tentang perilaku korupsi, Cara II lebih bertumpu pada kesadaran dan kesengajaan, tetapi Cara I lebih bersifat otomatis atau merupakan kognisi implisit. Cara I yang dapat terpicu tanpa usaha sadar atau intensi ini sulit disela tanpa keterpecahan perhatian/fokus tindakan dan lebih sering berakhir hingga purna tanpa kesadaran yang menampak pada pelakunya.[5]

Pembedaan antara Cara I dan II dalam operasi kognisi membuat saya menyangsikan keyakinan kebanyakan orang tentang peran kesadaran dalam proses pembuatan keputusan. Pada Cara I pemrosesan hampir tanpa kesadaran, baik yang terjadi pada si pembuat keputusan maupun pengambil keputusan. Sedang pada Cara II si pembuat keputusan pun –justru karena ia membuat keputusan— cenderung memilih proses kognitif yang lebih aman dan tak berisiko tinggi; sedemikian rupa sehingga hasilnya tak ubahnya dengan Cara I. Sebagai contoh, proses menemui pacar di saat awal masa pacaran dilakukan secara lebih “sadar” dibandingkan dengan kebiasaan menggandeng tangan pasangan setelah menjadi pasangan suami-isteri, atau proses memilih bank untuk menyimpan uang cenderung kita kerjakan secara lebih “sadar” dibandingkan dengan proses menciduk air dengan gayung menyiramkannya ke sekujur tubuh kita di saat kita mandi pagi. Dengan demikian, Cara II merupakan fungsi kurvelinear dari familiaritas, di mana makin baru suatu tugas, makin diperlukan Cara II karena sifatnya yang tak rutin.

Keterbatasan introspeksi yang berimplikasi pada proses kognitif sebenarnya jauh lebih kompleks dibandingkan dengan kesadaran pelaku tentang proses yang sudah berlangsung dalam dirinya. Fakta bahwa pelaku sering membuat penilaian yang bertumpu pada model linear, hal ini menunjukkan bahwa pelaku berusaha membobot variabel-variabel yang terbatas dan mengaduknya menjadi satu integrasi tertentu.[6]

Apa jawaban Anda tatkala saya menanyakan mengapa Anda menghentikan kendaraan Anda di depan traffic lights, sementara Anda melihat bahwa para pengemudi becak, andong, atau pengemudi sepeda tidak berhenti? Jawaban Anda membuktikan, bahwa Anda berusaha membobot variabel-variabel yang terbatas dan mengaduknya menjadi satu integrasi tertentu.

Psikologi Korupsi

Saya kira ada benarnya Ivan Petrovich Pavlov,[7] yang mendefinisikan psikologi modern seraya menunjuk bagaimana reaksi-reaksi stimulus-response terjadi dalam benak manusia. Ia melansir gagasannya lewat kebiasaan memberi makan anjing sambil pada saat yang sama membunyikan bel. Kemudian, di saat lain, ketika ia membunyikan bel saja, si anjing mendatanginya; meski ia tak membawa makanan. Reaksi psikologik anjing itu sama dengan saat ia beri makan, yakni mengeluarkan air liur.

Yang dapat kita pelajari ialah fakta bahwa memori tentang beberapa kejadian yang tersimpan secara bersama-sama melalui proses asosiatif dapat dikontak dengan stimuli eksternal. Memori-memori itu mengikat semua materi yang terasosiasi ke permukaan dan menghasilkan reaksi yang sama persis seperti saat materi itu tersimpan.

Kendati ada banyak anasir yang berusaha meretas rahasia dan logika di balik fenomena korupsi, saya cenderung memahami korupsi sebagai perilaku yang dapat terbentuk dengan cara kerja yang sama sebagaimana asosiasi. Beberapa stimuli menciptakan pola perilaku baru yang terekspresikan sebagai reaksi yang sudah berkembang. Pengulangan menyebabkan reaksi-reaksi itu mengalami regenerasi dari waktu ke waktu dan muncul ke dalam banyak varians. Reaksi korupsi pun memiliki karakeristik yang sama.

Studi mutakhir dalam topik sikap dilakukan oleh tiga mahasiswa Ateneo Psychology –Tanya Gisbert, Therese Posas and Karla Santos[8]— yang mewawancarai 12 informan dan mensurvei 380 responden dengan kelas pendapatan A, C, dan E di tengah kehidupan ibukota Metro Manila, yakni antara Oktober hingga Desember 2007. Mereka menanyakan tentang bagaimana orang mendefinisikan korupsi, menentukan tindakan tertentu yang dapat dikategorikan sebagai korupsi, dan sejauh mana mereka berpengalaman dengan tindakan-tindakan tersebut. Pada format survei, mereka meminta responden memberikan rating atas daftar tindakan yang termasuk dalam kategori korupsi. Sasarannya, melihat seberapa jauh para responden menerima atau menyetujui tindakan-tindakan tersebut dan sejauh mana keterlibatan mereka. Hasilnya, perumusan bahwa korupsi adalah:

  1. Bentuk Pencurian (Form of stealing). Sebagai pencurian, tindak korupsi terbagi ke dalam dua tipe: berskala kecil, yakni dilakukan oleh individu baik sebagai warga negara atau bagian dari konteks bisnis; dan berskala besar, yakni yang dilakukan oleh lembaga penata-laksana (government). Memberi uang untuk menghindari “tilang”, memperlancar urusan, dan menghindari jumlah pembayaran pajak, adalah contoh skala kecil. Kecurangan pemilihan umum atau pilkada, pemalsuan tanda tangan “katebalece”, atau penulisan isi kwitansi tanpa pembelian; kesemuanya adalah contoh korupsi berskala ketatalaksanaan.
  2. Kelumrahan (Commonplace). Sedemikian lumrahnya sehingga dapat disangatkan menjadi sesuatu yang sudah mendarah-daging (“being in our blood”). Responden kelompok pendapatan E berkilah bahwa tindakan itu dimaksudkan untuk mempertahankan kehidupan ekonomi keluarga. Kelas lebih tinggi berkilah bahwa tindakan itu dimaksudkan untuk memperlancar urusan dengan orang pemerintahan. Yang menarik kelas tertinggi, kelas A, meyakini bahwa mereka lebih menerima tindakan yang biasa mereka lakukan dengan kilah bahwa kelas yang lebih rendah pun melakukan. Sedang kelas menengah menyatakan bahwa mereka menjadi korban korupsi, terutama karena pembayaran pajak yang mereka lakukan sia-sia karena tak berbalas dengan kualitas layanan yang memadai.

Dari dua pemahaman tersebut menyegarkan konsep-konsep psikologik yang mungkin sudah pernah menjadi formula analisis kita.

  1. Konsep “Vicarious Learning”[9] atau “Pembelajaran ‘Demi-demi,’”[10] melalui mana kita belajar dari tindakan orang lain tentang bagaimana menyelesaikan persoalan dengan orang di kalangan lembaga pemerintahan. Dalam praktik, karena untuk membayar pajak (misal STNK) pun, “orang harus membayar”; maka wajarlah kalau kita juga melakukannya.
  2. Konsep “Desensitization”[11] atau “Pengebalan”. Meski orang menghujat korupsi di kalangan pemerintahan, kita juga mengerjakan hal yang kita hujat. Kita lupa bahwa garis terdiri dari gugus titik; skala besar dimulai dari master pieces yang kecil.
  3. Konsep “Rationalization” atau “Umbar Kilah”. Kita, di saat sadar bahwa telah melakukan perilaku negatif, akan berusaha mencari pembenaran atau justifikasi sehingga kita terhindar dari konflik kognitif. Respon ini mengarah ke (a) penyangkalan untuk bertanggung jawab (denial of responsibility), di mana tindak korupsi kita lakukan karena –dan hanya karena—lingkungan yang membuat kita tak punya pilihan. Selanjutnya respon ini mengarah ke (b) pembenaran kedua yang disebut “pembenaran karena sungkan” (denial of injury), di mana kita penyangkal kemungkinan terjadinya konsekuensi menyakiti atau merugikan orang lain dan menghalalkan cara.
  4. Konsep “Reinforcement” atau “Peneguhan”. Fakta bahwa kita berkilah: “Lihat saja nanti, apakah mahasiswa si tukang protes akan bertindak sama saat dia kelak bekerja di Kantor Pemerintahan atau swasta”; hal ini menunjukkan bahwa kita lagi mendambakan peneguhan faktual. Yang dapat dipelajari pada ungkapan kelas sosial-ekonomi lebih tinggi ialah adanya rasa keterkorbankan oleh korupsi, bukan kecemburuan bahwa kelas yang lebih bawah telah ditolerir dalam tindak korupsi mereka.
  5. Konsep “Learned helplessness” atau “Penghikmahan atas Ketakberdayaan”. Selain kemarahan terhadap merebaknya korupsi, yang terjadi sebenarnya adalah sebuah penghayatan tentang ketakberdayaan (sense of helplessness) karena sudah banyak berusaha tetapi tetap saja tak ada tanda keberhasilan. Kita mungkin juga mempercayai betapa sulitnya memberantas korupsi karena korupsi melekat pada kekuasaan yang kepadanya kita bersikap tunduk bersimpuh.
Rutinisasi dan Derutinisasi

Paradigma besar di balik kabut tindak korupsi adalah pada konsep rutinisasi, habituasi, pembiasaan, atau witing tresno margo kulino (Jw.). Hal ini dapat kita buktikan, misalnya, dengan bermain game monopoly. Agar menang, kita harus meraih keuntungan dari penderitaan atau kekalahan pemain lain. Dalam praktik keseharian, kita menciptakan keuntungan dengan membeli lebih banyak property atau sejenisnya sehingga kita mendapatkan keuntungan yang, tanpa kita sadari, telah dibayar oleh kekalahan dari counterpart atau pemain lawan.

Soal kalah-menang menjadi sekadar soal “tahu-tak tahu”, di mana siapa yang tahu lebih dulu dialah pemenang, sebaliknya yang tidak tahu; dialah pecundang. Dengan logika yang sama kita lantas menganggap benar apa saja konsekuensi yang kita rasakan sebagai “tidak damai” dari perilaku yang telah kita lakukan, hanya karena kita memposisikan perilaku itu sebagai legal; sehingga asalkan terjamin legal, maka kita benar. Korupsi pun akhirnya kita kerjakan asalkan legal! Sama halnya dengan game monopoly, kita dapat mengambil keuntungan dari orang lain, asalkan legal, sah, punya legitimacy.

Jadi, akar korupsi sejatinya adalah hasrat untuk melakukan kebiasaan, melakukan rutinisasi. Terlepas dari apa pun anasir nilai moralitas sang pelakunya, sejauh perilaku itu dikokang semata oleh hasrat melakukan rutinisasi; maka ia menjadi koruptor potensial dan tinggal menunggu momen yang dapat membuatnya menjadi koruptor aktual. Nyata di sini, apa pun varians dari anasir moralitas sosial kita, sejauh kita abai dan tak waspada terhadap hasrat untuk masuk dalam grafitasi rutinisasi, kita niscaya kehilangan hakikat moralitas sosial kita.

Pada hemat saya, pergeseran dari rutinisasi ke derutinisasi diilhami oleh fakta bahwa setelah sekian lama reaksi dasariah stimulus-response dikaji dalam psikologi, mulailah terpahami di kalangan para cerdik-kritis bahwa pengukuh positif (positive reinforcement, PR) dapat menciptakan psychological conditioning. Di bilik laboratorium makanan dapat digunakan sebagai PR. Caranya, respon yang dihasratkan dapat sengaja diciptakan lantaran positive reinforcement, yang berakibat sama terhadap pola perilaku yang terbentuk seturut model Pavlov; namun sejauh dilakukan pengulangan pemberian PR yang sama dari waktu ke waktu. Pola ini dikenali sebagai operant conditioning, yang diterapkan pada metode utama pelatihan binatang. Manakala binatang mengerjakan yang diinginkan oleh pelatihnya, maka ia mendapat dari pelatih hadiah (misal: makanan); sedemikian rupa sehingga binatang-binatang itu melestarikan perilakunya.[12]

Lain ungkap, tindak korupsi yang mendapatkan PR cenderung berkembang pesat ke varians yang beragam, sebab PR tidak lain adalah power. Oleh sebab itu, mendamba power adalah tujuan utama dari korupsi, karena power dibutuhkan untuk menundukkan orang lain; sementara kita miskin penghargaan diri dan prestasi. Begitu kita sukses menggendong power, seolah kita berprestasi, sehingga semua muatan janji dan kehasratan yang kita anggap ada di balik power gilirannya menciptakan pelestarian perilaku.

Di dunia sosial-ekonomi-politik sekitar kita kelewat sering kita saksikan laga yang tak berimbang antara begitu meruyaknya negative reinforcement (NR) terhadap tindak korupsi, sebaliknya begitu keringnya apresiasi PR atas tindak anti-korupsi. Perjalanan ikhtiar memberantas korupsi kian terseok, sementara akselerasi PR terhadap tindak korupsi kian instantaneous. Padahal, psychological conditioning seharusnya makin instantaneous, dan implementasi terhadap akibat penundaan (delayed effects) seharusnya dikerjakan seantisipatif mungkin. Mau berintrospeksi, atau ada ide lain?

Daftar Bacaan

Bandura, A. (1977) Social Learning Theory. New Jersey: Prentice Hall. Hardback.

Bargh J A (1994). “ The four horsemen of automaticity: Awareness, intention, efficiency, and control insocial cognition”. Dalam Wyer Jr. R S, Srull T K (eds.), Handbook of Social Cognition, 2nd edn. Lawrence Erlbaum Associates, Hillsdale, NJ, Vol. 1, hal 1 – 40.

Bargh, J. A, Chen, M., dan Burrows, L. (1996). “Automaticity of social behavior: Direct effects of trait construct and stereotype activation on action. Journal of Personality and Social Psychology, 71, hal. 230 – 244.

Dawes, R. M., Faust, D. dan  Meehl, P. E. (1989). “Clinical versus actuarial judgment”.  Science, 243, hal. 1668-1674.

Edy Suhardono, (8-6-1990), Media  Indonesia, “”‘Demi-demi’ dewasa ini.”

Hans-Peter  Erb,  Arie W. Kruglanski, Woo Young Chun, Lucia Mannetti, Scott Spiegel (2002). “Searching for Commonalities in Human Judgment: The Parametric Unimodel and its Dual Mode Alternatives”.  European Review of Social Psychology, 2003, 14, hal. 1-49.

Miller, D. T., & Ross, M. (1975). “Self-serving biases in the attribution of causality: Fact or fiction?” Psychological Bulletin, 82, hal. 213-225.

Nisbett, Richard E. dan Nancy Bellows (1977).” Verbal Reports about Causal Influences on Social Judgments: Private Access vs. Public Theories.”  Journal of Personality and Social Psychology, 35, hal 613-624.

Philosophical Library, “Experimental Psychology and other essays, 1957”. Diakses oleh Edy Suhardono pada 1 Nopember 2008 dari http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/ru/pavlov.htm.

Robert E. Haskell, “A Logico-mathematic, Structural Methodology: Part III, Theoretical, Evidential, and Corroborative Bases of a New Cognitive Unconscious for Sub-literal (SubLit) Cognition and Language. The Journal of Mind and Behavior, Vol. 25 No. 4 , Autumn 2004, hal. 287–322.

Rothbaum, B., L. Hodges, S. Smith, J. H. Lee and L. Price. “A controlled study of virtual reality exposure therapy for the fear of flying.” Journal of Consulting and Clinical Psychology 68, number 6 (2000), hal. 1020–1026.

Tanya Gisbert, Therese Posas dan Karla Santos. “Psychology of Corruption”. Diakses pada tanggal 11 Nopember oleh Edy Suhardono dari http://www.istorya.net/forums/politics-and-current-events/136161-psychology-of-corruption.html

Wegner, D. M., dan Bargh, J. A. (1998). “Control and automaticity in social life. Dalam Gilbert, D. T., Fiske, S. T., dan Lindzey, G. (eds.). Handbook of Social Psychology, 4th edn. McGraw-Hill, Boston, Vol. 1, hal. 446 – 496.

 

Catatan Akhir

[1] Lihat Robert E. Haskell, “A Logico-mathematic, Structural Methodology: Part III, Theoretical, Evidential, and Corroborative Bases of a New Cognitive Unconscious for Sub-literal (SubLit) Cognition and Language. The Journal of Mind and Behavior, Vol. 25 No. 4 , Autumn 2004, hal. 287–322. Selain itu pelajari Bargh J A (1994). “ The four horsemen of automaticity: Awareness, intention, efficiency, and control insocial cognition. Dalam Wyer Jr. R S, Srull T K (eds.), Handbook of Social Cognition, 2nd edn. Lawrence Erlbaum Associates, Hillsdale, NJ, Vol. 1, hal 1 – 40. Juga Bargh, J. A, Chen, M., dan Burrows, L. (1996). “Automaticity of social behavior: Direct effects of trait construct and stereotype activation on action. Journal of Personality and Social Psychology, 71, hal. 230 – 244.

[2] Lihat Nisbett, Richard E. dan Nancy Bellows (1977).” Verbal Reports about Causal Influences on Social Judgments: Private Access vs. Public Theories.”  Journal of Personality and Social Psychology,  35, hal 613-624.

[3] Miller, D. T., & Ross, M. (1975). “Self-serving biases in the attribution of causality: Fact or fiction?” Psychological Bulletin, 82, hal. 213-225.

[4] Hans-Peter  Erb,  Arie W. Kruglanski, Woo Young Chun, Lucia Mannetti, Scott Spiegel (2002). “Searching for Commonalities in Human Judgment: The Parametric Unimodel and its Dual Mode Alternatives”.  European Review of Social Psychology, 2003, 14, hal. 1-49.

[5] Lihat Wegner, D. M., dan Bargh, J. A. (1998). “Control and automaticity in social life. Dalam Gilbert, D. T., Fiske, S. T., dan Lindzey, G. (eds.). Handbook of Social Psychology, 4th edn. McGraw-Hill, Boston, Vol. 1, hal. 446 – 496.

[6] Dawes, R. M., Faust, D. dan  Meehl, P. E. (1989). “Clinical versus actuarial judgment”.  Science, 243, hal. 1668-1674.

[7] Lihat Philosophical Library, “Experimental Psychology and other essays, 1957”. Diakses oleh Edy Suhardono pada 1 Nopember 2008 dari http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/ru/pavlov.htm.

[8] Lihat Tanya Gisbert, Therese Posas dan Karla Santos. “Psychology of Corruption”. Diakses pada tanggal 11 Nopember oleh Edy Suhardono dari http://www.istorya.net/forums/politics-and-current-events/136161-psychology-of-corruption.html

[9] Lihat Bandura, A. (1977) Social Learning Theory. New Jersey: Prentice Hall. Hardback. Istilah lain adalah observational learning (juga dikenali sebagai : social learning, modeling  atau monkey see, monkey do), yang dimengerti sebagai pembelajaran yang  terjadi sebagai fungsi dari mengamati (observing), menyimpan (retaining) dan, dalam kejadian imitation learning, merupakan replikasi ke dalam perilaku baru yang dikerjakan oleh pelaku yang berlainan.

[10] Lihat Edy Suhardono, (8-6-1990), Media  Indonesia, “”‘Demi-demi’ dewasa ini.”

[11] Lihat Rothbaum, B., L. Hodges, S. Smith, J. H. Lee and L. Price. “A controlled study of virtual reality exposure therapy for the fear of flying.” Journal of Consulting and Clinical Psychology 68, number 6 (2000), hal. 1020–1026. Di sana digambarkan bahwa “disensitisasi” adalah intervensi terapeutik untuk mengurangi pengkaitan yang dipelajari antara kecemasan dan obyek atau situasi yang secara khusus memunculkan rasa takut.

[12] Sekadar komentar: Kita tidak konsisten menerapkan prinsip ini. Ketika Anda memasuki ruangan yang mengkondisikan Anda tidak merokok, biasanya di dinding di depan Anda terpampang letter “Terima Kasih Anda Tidak Merokok”; dan mungkin Anda pun tak merokok. Pertanyaannya, (1) benarkah tindakan tidak merokok yang Anda putuskan merupakan akibat dari peringatan yang terpampang, atau sebaliknya? (2) jika Anda merokok dan mendapat konsekuensi didenda, mengapa Anda tak mempersoalkan ketika Anda tidak merokok Anda tidak mendapatkan hadiah?

Tulisan di atas diperiksa dan disunting ulang dari naskah asli. Tulisan aslinya merupakan materi yang disampaikan oleh DR Edy Suhardono sebagai salah satu pembicara/narasumber untuk acara Kuliah Umum dengan Judul “Psikologi Korupsi”, hari Senin, 17 November 2008, Jam 09:00 – 12:30, di Gedung Rektorat, Ruang  Seminar Lt. 4, Universitas Muria Kudus.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *