Categories
Begini Saja

Psikologi Pengakuan

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari artikel Edy Suhardono yang pertama kali dipublikasikan di Facebook Edy Suhardono, “Psikologi Pengakuan”, 1 Februari 2015.

Kejadian hukum yang seolah tampak tak berhubungan, mulai dari kasus Antasari Azhar, BG, BW hingga Christopher; menyisipkan alur logika yang sulit dipatahkan bahwa secara pelan namun pasti sangkaan mengarah ke tuduhan, tuduhan mengarah ke pengakuan, dan selanjutnya pengakuan diperlakukan sebagai pembuktian atas kebenaran. Rentetan alur ini menutup kemungkinan bahwa pengakuan adalah bukti dari kepalsuan.

Judulnya “pencarian kebenaran”, tetapi yang sesungguhnya didapat adalah “pengakuan”. Begitu pentingnya pengakuan seorang tersangka sehingga para hakim dan jaksa sangat mengandalkannya sebagai bukti kebenaran. Hal ini mengabaikan cara yang dipraktikkan para aparat penegak hukum untuk memperolehnya. Di bawah anggapan bahwa pengakuan adalah padanan dari kebenaran, mereka beralasan untuk menafikkan kemungkinan bahwa pengakuan yang diungkap adalah palsu dan merupakan produk dari orang yang tidak bersalah atas kejahatan yang dituduhkan.

Pendukung pandangan tersebut mengabaikan posisi bahwa penegakan hukum ternyata tergantang di bawah probabilitas fifty-fifty antara pengakuan yang benar dan palsu. Akibatnya, prosedur hukum yang ditarik dari pandangan ini tak memberi ruang perlindungan –sebaliknya justru porsi sangsi pidana– bagi tersangka yang telah membuat pengakuan palsu. Prosedur yang berbasis pandangan ini juga menjadikan para tersangka terpaksa mengakui kejahatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan, sementara hakim dan juri tidak terbebas dari pengaruh psikologis saat kepada mereka disodorkan pengakuan yang berasal dari mereka yang terbukti secara sah terpaksa mengakui. Lebih dari ini, pengakuan palsu juga membuka kemungkinan bagi terjadinya re-interpretasi terhadap bukti lain yang diperoleh sebelumnya.

Betapa sulit membedakan antara pengakuan yang berhulu dari kebenaran dan kebohongan. Pandangan ini dikondisikan oleh gagasan dasar bahwa penegakan hukum dapat dikerjakan dengan meminta pengakuan tersangka terhadap daftar pertanyaan yang menjadi dasar bagi para penegak hukum untuk menilai respon perilaku, dan selanjutnya menjadikan respon ini sebagai basis dalam membuat keputusan tentang status kebenaran dari sangkaan atau tuduhan. Meski prosedur ini dianggap akurat berdasarkan rekam jejak berbagai kasus sebelumnya yang telah diklaim diputuskan secara tepat, namun kebenaran prosedural yang dijadikan landasan untuk mengklaim ini sebenarnya tidak mengukur kebenaran empirik lantaran di sana tidak terseddia ruang falsifikasi bagi uji kasus lain yang akhirnya terbukti salah keputusan. Artinya, secara logik kebenaran dari prosedur ini dapat dikatakan hanya sedikit lebih baik daripada permainan tebak-tepat membalik dua sisi mata uang.

Ketidakadilan yang disahkan secara prosedural hukum terbukti dari tidak adanya perlindungan hukum bagi tersangka yang memberikan pengakuan palsu, sebaliknya justru delik pemidanaan karena tersangka telah memberikan pengakuan palsu; apalagi di bawah sumpah. Meski secra aksiomatik setiap tersangka memiliki hak untuk tetap diam, sebenarnya dalam realisasinya hak ini tak lebih sebagai desain untuk memastikan bahwa dengan tersangka menyadari hak-hak konstitusionalnya, ia dicegah untuk melakukan tindakan yang dapat memberatkannya sehingga ia perlu didampingi oleh penasihat hukum.

Yang jelas, prosedur tersebut lebih berkemungkinan gagal mengantisipasi bahwa hak-hak konstitusional tersangka terbuka untuk diabaikan, terutama karena peluang yang lebih besar terjadinya agresifitas dan rigiditas interogator begitu menemukan bukti yang sebaliknya. Dengan demikian, klaim tentang hak-hak konstitusional tersangka tidak dengan sendirinya melindunginya dari praktek interogasi yang berbahaya. Jika dari sini hasilnya adalah pengakuan, apa pun, benar atau palsu; interogator tetap memiliki peluang untuk meyakini bahwa telah berhasil mengungkapkan kebenaran via pengakuan.

Selalu terbuka kemungkinan bahwa seorang tersangka mengakui hal yang sebenarnya tidak ia lakukan. Hal ini terjadi lantaran sistem peradilan memberlakukan kombinasi antara interogasi yang mendasarkan pada “asumsi” –untuk tidak mengatakanya sebagai “praduga”– bersalah, dan manipulasi bukti yang dibarengi upaya memberikan simpati berupa penerimaan dan toleransi atas rasionalisasi moral mengapa tersangka masuk akal bila akhirnya terlibat dalam kejahatan yang disangkakan. Artinya, selain ditekan untuk mengakui kesalahan, kepada tersangka juga diberikan simpati bahwa orang lain dapat bertindak dengan cara sama seandainya berada dalam situasi yang sama sebagaimana dialami tersangka. Jika dengan kombinasi ini interogator mendapatkan pengakuan, maka secara logika tidak dapat dijaminkan bahwa terangka benar-benar telah melakukan perbuatan sebagaimana ia akui.

Jadi, apa pun pengakuan yang dibuat seorang tersangka, hal ini membuka adanya “a point of no return” bagi hakim dan juri untuk memperlakukan pengakuan sebagai kebenaran dari tuduhan. Artinya, pengakuan berdampak luar biasa terhadap keputusan bahkan ketika ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa pengakuan terjadi di bawah paksaan. Di sini seolah berlaku adagium bahwa “apel yang tergenggam di tangan pasti apel yang dipetik dari pohonnya” dan ini mengabaikan kemungkinan bahwa “apel itu dibeli dari warung buah di seberang jalan”.

Lebih sulit bagi hakim dan juri untuk menyangkal kebenaran berbasis pengakuan daripada kebenaran yang dokonklusikan secara sama tetapi tak berbasis pengakuan. Apa penjelasan psikologisnya?

Pertama, sebuah pengakuan, terlepas benar-tidaknya, sulit dibantah oleh hakim dan juri karena keterjebakan mereka pada faktor psikologik yang disebut “bias kesalahan atributif”, yakni kecenderungan psikologis untuk melebih-lebihkan faktor personal dan meremehkan faktor situasional ketika menilai suatu peristiwa yang dialami seseorang; sehingga logika ini menutup kepercayaan pada tersangka yang memberikan informasi yang bertentangan dengan kepentingannya.

Kedua, begitu sulitnya orang mendeteksi penipuan sehingga pengakuan disepadankan sebagai bukan penipuan kalau bukan justru kebohongan.

Ketiga, pengakuan palsu kian tak terbantahkan manakala dibumbui dengan informasi lain yang sesuai dengan pendapat mayoritas dan otoritas tentang apa yang diasumsikan sebagai kebenaran, seperti: motif, permintaan maaf, dan rincian kejahatan yang diasosiasikan dengan tempat kejadian.

Kebenaran yang dilandaskan pengakuan juga diperkuat dengan prosedur penegakan hukum yang mengafirmasi kesalahan dalam bentuk pengakuan tertulis guna mencegah tersangka untuk merevisinya, sehingga penampilan kredibilitas dan kebenaran pengakuan kian sulit dianulir. Lebih dari itu, hampir tidak ada warning tentang sejauh mana pengakuan palsu berbahaya. Benar bahwa pengadilan banding dapat memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh penegak hukum atau sistem hukum. Soalnya adalah bahwa pengakuan palsu yang direkayasa dapat meningkatkan kekuatan dari bagian lain sebuah pembuktian, bahkan ketika “bukti” yang dimaksud didasarkan pada semacam pseudosains yang tidak memiliki landasan nilai diagnostik.

Karenanya tak mengherankan bahwa kombinasi antara pengakuan palsu dari kesaksian yang tidak relevan justru dapat mendongkrak tingkat keyakinan secara signifikan sebagaimana yang terjadi pada vonis yang direspon dengan upaya PK oleh terhukum Antasari Azhar. Dalam kasus ini, hasil uji analis balistik bahkan dapat terpengaruh oleh bukti-bukti yang dikaitkan dengan kesaksian yang tercemar.

Tidak selalu benar bahwa kebenaran dari suatu sangkaan dan tuduhan harus digantungkan semata pada ada tidaknya pengakuan yang diperlakukan sebagai pembuktian atas kebenaran, sebab dari sebuah pengakuan masih dapat dibuktikan sejauh mana di dalamnya terkandung kepalsuan. Karenanya, harus disediakan prosedur penegakan hukum yang memberi ruang perlindungan bagi tersangka yang telah membuat pengakuan palsu, dimana tersangka lebih mungkin untuk terpaksa mengakui kejahatan yang sebenarnya tidak dilakukan daripada terpaksa menutupi kejahatan yang sebenarnya dilakukan.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *