Categories
Begini Saja

Sisi Ambigu dari “Motif Berkuasa”

Adalah Wakil Ketua Balitbang DPP Golkar Ali Mochtar Ngabalin yang menilai, penolakan presiden terpilih Joko Widodo terhadap pembelian mobil Mercy untuk menteri-menterinya hanya sebuah pencitraan. Padahal, menurutnya, anggaran belanja negara yang dilakukan pemerintah telah diatur dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Selanjutnya, Ngabalin mengatakan, Jokowi seharusnya berterima kasih pada pemerintahan saat ini yang telah menyiapkan kendaraan dinas baru bagi para menterinya. Bahkan diusulkan agar Jokowi dan jajaran kabinetnya menggunakan mobil Esemka yang dulu pernah menjadi kebanggaan Jokowi semasa menjabat sebagai Wali Kota Solo.

Yang terjadi, pengadaan mobil Mercy untuk menteri-menteri ditolak mentah-mentah oleh Jokowi. Jokowi yang tidak menginginkan para menterinya menggunakan mobil mewah sebagai kendaraan dinasnya. Jokowi pun telah menyampaikan langsung keberatannya itu kepada Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.

Pertanyaan polosnya, jika diasumsikan benar bahwa penolakan pembelian mobil Mercy oleh presiden terpilih Joko Widodo dimaksudkan untuk pencitraan, apakah jika ia menerima pembelian mobil Mercy untuk menteri-menterinya lantas hal ini bukan pencitraan?

Motif Berkuasa

Premis tentang pencitraan demi memperoleh kekuasaan tak dapat dilepaskaitkan dari pengertian tentang motif berkuasa (MB). Kekuasaan dalam arti sempit adalah pemaksaan melalui ancaman sehingga pengancam memaksa orang yang disasar melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Dalam arti lebih luas, kekuasaan tak sekadar melibatkan pemaksaan, tetapi juga banyak kondisi, seperti: cinta, persuasi, penghargaan, legitimasi, kontrol, dan manipulasi atas situasi dan peluang orang lain.

Kekuasaan selalu merupakan suatu kesengajaan terkait pencapaian tujuan bagi diri sang penguasa dengan cara mengobjekkan pihak lain. Kekuasaan bak perwujudan bawah sadar dari seorang perempuan muda dengan penampilan yang seronok. Artinya, kekuasaan adalah juga perwujudan aktif yang tampak pada karakter unik seseorang dalam fungsinya sebagai penegasan dan penegakan identitas. Di sini kekuasaan menjadi aspek realitas sekaligus manifestasi aktif dari disposisi seseorang.

Adapun MB dalam pengertian luas adalah perwujudan dan pernyataan identif diri seseorang kepada dunia. Secara sempit, MB menampak dalam dorongan mendominasi orang lain melalui kekuatan, ancaman, pemaksaan, penghargaan, tawar-menawar, persuasi, manipulasi, bahkan cinta. Secara operasional motif berkuasa adalah dorongan  untuk mendominasi orang lain.

Kaitan MB dan Harga Diri

Apakah MB terkait dengan harga diri? Apakah seseorang dengan MB yang menonjol juga memiliki harga diri tinggi? Harga diri dapat dicapai melalui dominasi, asalkan diperoleh secara moral, baik melalui pengendalian diri, pemberian bantuan kepada orang lain, pencapaian tujuan lewat kerja keras, dan sebagainya. Namun, setidaknya menurut Adler, motif kekuasaan adalah penyimpangan psikotik dari tujuan diri, sebab tujuan membangun harga diri yang sesungguhnya adalah melalui orientasi pada kepentingan orang lain, kepentingan sosial.

Tujuan yang berorientasi pada kepentingan orang lain adalah tujuan superordinat, yakni tujuan identif yang selesai pada diri sendiri dengan arah menuju ke aktualisasi diri atau penyempurnaan diri. Tujuan utamanya adalah mewujudkan karakter sendiri, membangun identitas diri, dan di sinilah terjadi harga diri yang sesungguhnya. Dengan demikian, dalam arti luas tujuan dari MB adalah menemukan dorongan inti untuk kekuasaan dalam arti luas dan tak terbatas sekadar pada upaya mendominasi. Inilah motif kekuasaan identif yang sesungguhnya yang oleh Nietzsche disebut “kehendak untuk berkuasa”. Artinya, hanya  melalui tujuan superordinat harga diri diraih, yakni melalui perwujudan motif kekuasaan yang identif.

Motif Mendominasi

Lantas, apa yang terjadi dengan motif untuk mendominasi? Tanpa adanya tujuan superordinat kita hanya akan merealisasikan MB sejauh pada tingkatan kebutuhan. Kebutuhan yang paling dekat dan konkret adalah kebutuhan menonjolkan diri dengan cara mendominasi. Di tingkatan yang paling bawah dari kebutuhan mendominasi antara lain keinginan untuk dikagumi, untuk mendapatkan uang lebih, mobil mewah, gaya hidup glamour dan sebagainya. Ini lebih merupakan kebutuhan untuk sekadar mencapai status tertentu yang sejajar dengan status-status lain sebagai akibat dari pemenuhan kebutuhan lain, seperti:  kebutuhan seksual, kebutuhan makan, atau kebutuhan rasa aman.

Dengan lain ungkap, motif kekuasaan dalam arti ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang tak lebih dari sekadar perkara temperamen dan gaya berperilaku dari MB, dan bukan MB itu sendiri. Dengan mengintrospeksi komponen temperamen kita sendiri, pada tingkat tertinggi tampak adanya gambaran tentang kekuasaan yang kontras dengan keterkuasaan. Dalam kaitan ini, temperamenlah yang membedakan antara orang-orang yang mandiri, tegas, percaya diri, progresif, gigih, dan menyukai petualangan; dibandingkan orang-orang yang patuh, merasa sudah tua, suka menghukum diri sendiri (bersikap intrapunitive), dan pemalu.

Dilihat dari kontras karakteristik seperti itu, gugus temperamen yang terakhir tampak sebagai sindrom yang diakibatkan oleh kondisi otoriter daripada menjadi tolok ukur dari keberanian atau ketegasan sebagai respon terhadap orang lain dan lingkungan. Inilah yang jelas membedakan antara pemimpin dan orang-orang yang “ikut-ikutan memimpin”, antara mereka yang independen dan degil tergantung kemana arah angin, dan antara mereka yang benar-benar mampu mendominasi secara sadar dan mereka yang sekadar tunduk asal tunduk.

Dengan demikian, kita menemukan bahwa ada kekuatan psikologis yang berperan sentral sehingga dari sini kita memerlukan penafsiran tentang sejarah politik terkait kekuasaan sebagai hal yang tak dapat dilepaskaitkan dari basis psikologis seseorang. Agar lebih mengerucut, kita perlu membedakan antara kekuasaan identif yang didasari perjuangan untuk membangun harga diri, dan kekuasaan sebagai sekadar dominasi. Kekuasaan identif terlihat dari tujuan superordinatnya, dan dalam pengertian ini, kekuasaan menjadi pusat sentimen, inti dorongan dan hasrat inti.

Meski berhubungan dengan kebutuhan untuk menonjolkan diri, namun dalam kekuasaan identif, dominasi bukan merupakan dorongan primer di mana yang pusat penggeraknya bukan motivasi, tapi temperamen. Temperamen ini secara serentak (segregatif) mewujud dalam temperamen dominasi yang dicirikan melalui cara atau gaya untuk sekadar memenuhi kebutuhan, dan bukan merupakan kebutuhan asasi.

Singkatnya, kekuatan psikologis memiliki peran sentral dalam MB sehingga wacana MB sering dirampatkan secara semena-mena sekadar sebagai seolah motif untuk memeluk kekuasaan. Yang perlu dicatat, tanpa dorongan kekuasaan identif yang diwujudkan melalui tujuan superordinat yang membangun harga diri, maka MB hanya akan sejauh pada dorongan untuk memperoleh kekuasaan sebagai dominasi yang berkaitan dengan kebutuhan menonjolkan diri . Kekuasaan lantas bukan menjadi motivasi untuk membangun harga diri, tetapi sekadar menjadi motif untuk mendominasi yang digerakkan terutama oleh temperamen yang memformat cara karakteristik berperilaku seseorang.

Dengan penjabaran ini saya hendak meyakinkan Anda, di balik wacana MB terkandung suatu ambiguitas yang sangat subtil. Mengikuti konsistensi perkataan dan perbuatan dua tokoh yang saya angkat dalam tulisan ini – Ali Mochtar Ngabalin dan Jokowi– dalam rentang berbagai kejadian politik di negeri ini, betapa sulit –sesulit memilah dan memilih rambut yang dibelah tujuh– orang membedakan antara MB yang digerakkan oleh kekuatan pribadi, penghargaan, kecintaan, dan passion; dan MB  yang digerakkan oleh temperamen dan gaya perilaku untuk mendongkrak harga diri dengan mendominasi, baik dengan ancaman, pemaksaan, tawar-menawar, siasat memenangkan, dan tindakan manipulatif di bawah panji “homo homonibus lupus”, di mana manusia adalah serigala bagi sesamanya.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *