Categories
Begini Saja

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 3

Anda dan Anak: Benarkah berbeda?

Dari kasus-kasus yang saya dampingi, saya berkesimpulan bahwa anak-anak penggila game via gadget datang dari keluarga atau pasangan orangtua penggila kerja; sementara para orangtua penggila kerja adalah pribadi-pribadi yang minim dalam membuat distingsi antara “game, sport and play” (GSP) di masa lalunya. Dari sini Anda dapat membayangkan sebuah keniscayaan dimana orangtua gagal memahami dunia GSP yang dihayati oleh anak-anaknya, sementara anak tidak habis pikir kenapa dirinya harus bekerja (mengerjakan PR atau pekerjaan rumah tangga, dsb.) dan bukan bermain; dan kenapa orangtuanya gila kerja. Di sini, sebenarnya dapat ditarik kesamaan: sama-sama penggila, sama-sama berstatus “-aholic”, meski dalam tingkat dan modus kematangan yang berseberangan.

Oleh karena itu, marilah kita sorot terlebih dahulu “sang DIRI”, karena dengan menyorot DIRI Anda sendiri, Anda akan terbuka terhadap DIRI Liyan, DIRI pribadi lain yang dekat dalam kehidupan Anda, termasuk DIRI anak-anak Anda. Terkait hal ini, ada 5 hal tak terbantahkan yang menyuasanai DIRI Anda dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, dan kejadian ke kejadian lainnya.

Pertama, dalam DIRI sebenarnya tersedia energi luar biasa, tetapi Anda tidak tahu untuk apa. Meski energi luar biasa ini terbatas, sayangnya Anda justru sering kehilangan motivasi untuk memanfaatkannya. Contohnya, sadar perlu teman, tetapi tidak berusaha mendekati seseorang; sadar perlu penurunan berat badan, tetapi malas berolahraga; merasa perlu belajar memasak, tetapi lebih sering membeli makanan siap saji. Intinya, Anda punya energi motivasi, tetapi tak peduli bagaimana menindaklanjuti. Saking seringnya pola ini berulang, Anda mulai berkenalan dengan tanda-tanda depresi, kulit mengusam, suasana hati kosong, dan hampir tanpa motivasi untuk melakukan sesuatu kecuali asal menjalankan.

Kedua, ketakberdayaan untuk memungkinkan sesuatu yang Anda anggap tak mungkin direalisasikan mengakibatkan Anda terperosok ke dalam perilaku menghindar dan melarikan diri. Di sinilah awal Anda mulai gila kerja. Anda merasa tak ada waktu untuk berolahraga dan Anda makin gemuk dan gemuk. Anda suka mengeluh dan mengeluh, sampai akhirnya Anda berpikir bahwa Anda akan mampu mengokang gairah jika -dan hanya jika- Anda mendapatkan lebih banyak uang. Anda pun makin gila kerja, dan tanpa Anda sadari, anak-anak pun makin gila game.

Ketiga, Anda rajin merasionalisasi keadaan “biasa-biasa saja” dan menyikapinya dengan “apa boleh buat”. Dari sini Anda mulai menuding, biang kerok dari masalah Anda adalah pekerjaan, kemacetan di jalan, ketiadaan waktu luang, ketakharmonisan relasi keluarga, bahkan pasangan yang kian membosankan.Dengan rentetan kondisi yang Anda seperti ini, satu pemicu kejadian kecil pun, semisal mobil mogok, Anda mengklaimnya sebagai penyebab mengapa Anda kehilangan pekerjaan yang berbuntut petengkaran dengan pasangan, anak-anak menjadi penggila game, anak-anak tinggal kelas, dan seterusnya. Ketika ini semua terjadi, Anda seolah layak untuk menyanyikan lagu lawas “Hidupku Yang Sengsara” (Edy Silitonga). Mulailah Anda terlibat melakukan hal-hal konyol, seperti: hidup dalam “mimpi”, “gairah semu”, atau “kecanduan”, bahkan bersentuhan dengan insiden perselingkuhan.

Keempat, intuisi Anda ngadat. Anda mulai “mati rasa”. Hidup tak mau, mati tak hendak. Anda makin enggan “berusaha mencoba” dan mengatasi secara lebih baik. Anda merasa sudah “mencoba berusaha”. Anda enggan “melihat ketinggian dari posisi yang lebih rendah”. Anda makin terdera untuk sekadar melakukan yang Anda pikir bahwa Anda harus, dan bukan yang Anda rasakan. Anda pikir bahwa Anda harus meningkatkan penghasilan dari pekerjaan yang makin Anda benci. Anda berada dalam siklus “kapok lombok”, tahu bahwa cabe berasa pedas, tetapi tetap mengonsumsinya.

Kelima, Anda mulai marah menghadapi perkara kecil yang paling tidak penting. Pola tindakan Anda menjadi sarat pelampiasan, sarat displacement. Anda seperti seekor kancil yang berlomba lari dan yang ditipu oleh kawanan keong dalam cerita kanak-kanak. Anda berasa mendapatkan sasaran –apa pun, siapa pun—untuk Anda jadikan objek amarah: lalu lintas, mangkuk anjing, anak yang main game. Padahal, kemarahan yang tiada ujung inilah yang kemudian justru membuat anak kian menjadi penggila game.

Dengan memahami kelima pola tersebut, mungkin Anda dipermudah untuk menjelaskan mengapa Anda bermasalah serius dengan anak-anak Anda yang tiba-tiba menjadi penggila game. Setidaknya dari sini Anda perlu secara tegas mempertanyakan: sebenarnya, apakah kecanduan game yang terjadi pada anak-anak Anda merupakan SEBAB dari persoalan Anda, atau sebaliknya, justru AKIBAT dari persoalan Anda?

Artikel Terkait:

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 1

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 2

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 4

 

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari naskah asli, dan dibagi menjadi 4 bagian. Naskah aslinya merupakan materi presentasi DR Edy Suhardono sebagai salah satu pembicara/narasumber untuk Talkshow “Gadget: Kebutuhan Dan Resiko Kecanduan”, yang diselenggarakan oleh Seksi Kerasulan Keluarga, Seksi Kepemudaan, dan Seksi Komunikasi Sosial Paroki Santo Stefanus Cilandak, Jakarta Selatan, 14 Juni 2014.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *