Categories
Begini Saja

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 1

Artikel ini berasal dari materi yang disampaikan oleh Edy Suhardono sebagai salah satu pembicara-narasumber sebuah acara talkshow.

Untuk mengulas tema yang diangkat dalam temu kita, “Gadget: Kebutuhan Dan Resiko Kecanduan“ saya mencoba menarik pelajaran dari pengalaman mendampingi ratusan kasus penggila game. Keluhan yang paling umum dari para orangtua tentang kegemaran anak-anak bermain video game yang terpasang di gadget adalah bahwa video game berbuntut efek tertentu: pertama, mengakibatkan isolasi sosial pada anak; kedua, mengurangi kesempatan anak untuk melakukan kegiatan di luar ruangan sehingga menyebabkan obesitas dan penurunan kesehatan fisik; dan ketiga, meningkatkan pembelajaran anak tentang kekerasan.

Ada beberapa contoh penelitian yang melihat video game sebagai salah satu faktor penyebab kekerasan. Anderson dan Bushman (2001), misalnya, mencoba mengaitkan antara “kekerasan video game” dengan perilaku antisosial seperti agresi. Silvern dan Williamson (1987) menemukan, anak-anak usia 4 sampai 6 tahun mengalami peningkatan agresi dan penurunan perilaku prososial setelah bermain video game yang bertemakan kekerasan.

Perilaku antisosial didefinisikan oleh Frick (2009) sebagai perilaku yang tidak diinginkan secara sosial, termasuk verbalisasi antisosial dan tindakan antisosial dengan atau tanpa verbalisasi. Perilaku prososial didefinisikan sebagai “perilaku yang diinginkan secara sosial dan interpersonal dan berhubungan dengan perilaku positif, seperti: perilaku yang bermanfaat bagi orang lain, membantu atau menolong orang lain, dan mempromosikan kreativitas (imajinasi) (Penner, Dovidio, dan Piliavin, 2005).

Mengapa bermain video game bertemakan kekerasan dianggap penyebab terjadinya perilaku antisosial? Game jenis ini diyakini meningkatkan gelombang otak, denyut jantung, tekanan darah, juga konduktansi kulit. Dengan habituasi yang berlanjut ke tingkat tertentu, pemain menjadi kurang peka dan mulai membutuhkan tingkatan perangsangan yang lebih tinggi. Di sini overexposure membangkitkan agresi. Anderson dan Bushman (2001) pun lantas mengembangkan apa yang mereka sebut “Model Agresi Umum” yang menyatakan bahwa pemain video game kekerasan cenderung mengembangkan keyakinan agresif dan pikiran yang gilirannya mempengaruhinya untuk berperilaku agresif di masa depan dalam kehidupan nyata.

Sisi lain dari bermain game ditunjukkan banyak hasil penelitian yang menguatkan bahwa video game juga memiliki manfaat prososial. Kestenbaum dan Weinstein (1985), misalnya, mencatat bahwa permainan agresif justru membuat pemain tenang. Scott (1995) menemukan, terjadi penurunan perasaan agresif setelah orang bermain game bertema kekerasan, tetapi malahan mengalami peningkatan perasaan agresif setelah bermain game bertemakan kekerasan ekstrim. Di sini game kekerasan dalam tingkat tertentu memiliki efek prososial, terutama karena menyediakan sarana yang aman untuk melampiaskan agresi.

Sisi lain lagi, ketika para gamer bermain secara kolaboratif, mereka menggunakan kerjasama tim untuk menyelesaikan tugas. Hal ini merupakan bentuk perilaku interpersonal positif yang berlaku sama, baik pada video game non-kekerasan maupun kekerasan. Artinya, jika yang dimainkan adalah game non-kekerasan dengan fokus pada strategi dan hiburan ringan, lebih mungkin terbentuk perilaku prososial dalam kelompok gamer.

Sampai di sini tertegaskan, pertama, isolasi sosial nampak tidak terjadi manakala anak bermain dalam game kelompok; dan kedua, dengan game kelompok anak justru mengalami peningkatan pembelajaran tentang kerjasama.

Artikel Terkait:

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 2

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 3

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 4

 

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari naskah asli, dan dibagi menjadi 4 bagian. Naskah aslinya merupakan materi presentasi DR Edy Suhardono sebagai salah satu pembicara/narasumber untuk Talkshow “Gadget: Kebutuhan Dan Resiko Kecanduan”, yang diselenggarakan oleh Seksi Kerasulan Keluarga, Seksi Kepemudaan, dan Seksi Komunikasi Sosial Paroki Santo Stefanus Cilandak, Jakarta Selatan, 14 Juni 2014.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *