Categories
Begini Saja

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 4

Keluar dari Kemelut

Dalam realitas domestik ada kaitan antara gejala gila game via gadget pada anak-anak (dan bisa jadi pada orangtua) dan gila kerja pada orangtua. Saya berpendapat –ini saya buktikan dalam penanganan kasus— bahwa untuk keluar dari situasi tersebut Anda harus bisa mengatakan “Tidak” untuk kebiasaan lembur kecuali Anda tulus mengatakan “Ya” untuk sesuatu yang Anda benar-benar inginkan. Anda perlu merumuskan prioritas terkait beberapa hal:

Keluarga Anda. Apa yang akan Anda peroleh lebih dari pekerjaan Anda sementara Anda berisiko pertengkaran dengan pasangan dan rusaknya hubungan Anda dengan anak-anak Anda?

Kesehatan Anda. Siapkah Anda untuk mendapatkan penyakit yang terkait dengan stres dan mungkin Anda akan meninggal sebelum pensiun karena mementingkan pekerjaan Anda?

Kenikmatan dan ketenangan pikiran. Anda mungkin mengklaim telah bekerja keras karena menikmati pekerjaan Anda. Tetapi sempatkah Anda berpikir bahwa Anda akan kehilangan kebahagiaan dan ketenangan pikiran jika Anda hanya berfokus pada satu jenis kenikmatan?

Uang. Apa gunanya memiliki begitu banyak aset dan tabungan jika Anda tidak punya waktu untuk menikmatinya? Dengan melakukan sesuatu demi orang yang Anda cintai, tidakkah karunia waktu lebih berharga daripada hadiah uang?

Pembelajaran saya dari kasus-kasus anak penggila game meyakinkan saya –dan dari sini merekomenasikan— insiden penggila game tak dapat dilepaskaitkan dari setting keluarga. Karenanya, sasaran pemecahan masalah yang saya usulkan adalah bersifat struktural, yakni melakukan perubahan pola/irama hidup melalui “deroutinization”.

Pertama, potong pekerjaan yang relatif memberikan sedikit manfaat untuk waktu yang Anda investasikan. Pertanyakan pada diri sendiri, “Berapa banyak orang akan mendapatkan manfaat yang signifikan dari ini? Berapa banyak orang yang mendapatkan kemanfaatan jika saya menyelesaikan pekerjaan ini?”

Kedua, batasi jumlah tugas dalam pekerjaan yang harus Anda selesaikan. Selesaikan satu item pekerjaan sebelum memulai lainnya. Sebab, hanya karena alasan bahwa Anda sudah menyia-nyiakan banyak waktu pada bagian dari suatu pekerjaan, Anda tak harus membuang lebih banyak. Artinya, Anda tak perlu membuang waktu yang baik setelah Anda menyelesaikan secara buruk.

Ketiga, batasi jumlah waktu yang Anda habiskan untuk bekerja. Sisihkan satu hari dalam seminggu, seperti Minggu, benar-benar sebagai hari istirahat. Berdisiplinlah dengan diri sendiri untuk tidak bekerja pada hari itu. Agendakan jadwal untuk bermain bersama anak dan pasangan, termasuk bermain game (Edy Suhardono, 2013). Dari sini Anda akan memahami, Anda tak akan mampu menghentikan anak-anak bermain game kecuali Anda paham game yang mereka mainkan. Kecuali Anda pernah menyelami bagaimana nikmatnya memainkan game yang digemari anak-anak.

Keempat, canangkan fleksibilitas dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Anda boleh menetapkan tenggat waktu untuk Anda jika orang lain –atasan atau pelanggan Anda—meminta. Tapi Anda tak perlu menetapkan tenggat waktu untuk diri sendiri. Anda tidak harus hanya melakukan hari ini apa yang Anda dapat kerjakan pada hari ini, tetapi juga tidak harus melakukan pada hari ini apa yang dapat Anda tunda sampai besok.

Kelima, bekerjalah untuk menghasilkan kualias yang cukup dan tak harus selalu menghasilkan kualitas kerja yang super tinggi jika itu tidak diperlukan. Anda tidak harus menjadi seorang perfeksionis, karena ini merupakan penyebab paling signifikan dari terbentuknya pada penggila kerja.

Keenam, jadilah efisien dalam pekerjaan yang Anda lakukan. Jika Anda dapat produktif dalam waktu yang relatif singkat, Anda dapat bersantai di luar set waktu kerja Anda. Berhenti dari status sebagai penggila kerja tidak berarti Anda tidak bisa bekerja keras, bekerja secara efisien, dan bertujuan untuk kualitas yang tinggi. Anda perlu bekerja secara cerdas, dan tak selalu harus bekerja secara keras.

Di saat Anda berangkat tidur setelah doa malam, dengungkan ke diri sendiri: “Aku telah menghabiskan banyak waktu di kantor.”

Lontarkan pertanyaan pada diri sendiri,

“Jika aku dipanggil Tuhan dalam tidur saya malam ini, apakah saya senang dengan cara saya menghabiskan hari ini?”

Silahkan mencobanya.

Referensi:

Anderson, C.A, dan Bushman, B.J. (2001, “Effects of violent video games on aggressive behavior, aggressive cognition, aggressive affect, physiological arousal, and prosocial behavior: A meta-analytic review of the scientific literature. Psychological Science, 12: 353-359.

Frick, P. J. “Antisocial behavior from a developmental psychopathology perspective. Development and Psychopathology, 21, (2009), 1111–1131.

Kestenbaum, G.I. dan Weinstein, L, (1985), “Personality, psychopathology, and developmental issues in male adolescent video game use”. Journal of the American Academy of Child Psychiatry, 24: 325-337.

Penner, L. A., Dovidio, J. F., Piliavin, J. A.. “Procosial Behavior: Multilevel Perspectives”. Annu. Rev. Psychol. 2005. 56:14.1–14.28.

Silvern, S.B, dan Williamson, P.A. (1987), “The effects of video game play on young children’s aggression, fantasy, and prosocial behavior”. Journal of Applied Social Psychology, 18: 454-460.

Suhardono, E. (2013), “Atasi Gila Game Dengan Main Game Bersama”. Online Document: http://soalsial.com/atasi-gila-game-dengan-main-game-bersama/

Artikel Terkait:

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 1

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 2

Bermain atau Dimainkan Gadget? │ Bagian 3

 

Artikel ini diperiksa dan disunting ulang dari naskah asli, dan dibagi menjadi 4 bagian. Tulisan aslinya merupakan materi milik DR Edy Suhardono sebagai salah satu pembicara/narasumber untuk Talkshow “Gadget: Kebutuhan Dan Resiko Kecanduan”, yang diselenggarakan oleh Seksi Kerasulan Keluarga, Seksi Kepemudaan, dan Seksi Komunikasi Sosial Paroki Santo Stefanus Cilandak, Jakarta Selatan, 14 Juni 2014.

 

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *