Categories
Begini Saja

‘Ngaku-Ngaku’ Dekat

Pola rekonstruksi citra publik dalam politik acap kali melibatkan penciptaan citra yang menguntungkan dan menggugah simpati dari pemilih. Psikologi Politik menjelaskan bahwa persepsi dan penilaian publik terhadap bakal capres/cawapres sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis, termasuk persepsi identitas bakal capres/cawapres, afiliasi kelompok, dan kesesuaian nilai-nilai dengan pemilih.

John L. Sullivan, melalui buku kumpulan esai, At the Forefront of Political Psychology (2020), berpendapat bahwa pendapat dan penilaian publik terhadap bakal capres/cawapres tidak semata-mata didasarkan pada pemahaman rasional terhadap kebijakan dan prestasi bakal capres/cawapres, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti persepsi identitas bakal capres/cawapres, afiliasi kelompok, dan kesesuaian nilai-nilai dengan pemilih. Menurut Sullivan, persepsi dan penilaian publik terhadap bakal capres/cawapres sering kali lebih banyak dipengaruhi oleh faktor emosional dan afektif daripada pertimbangan rasional.

Salah satu pola yang kian latah digunakan adalah “ngaku-ngaku” dekat dengan tokoh atau organisasi yang sangat berpengaruh di masyarakat, seperti: “ini sesuai arahan Pak Lurah”, “saya dekat dan sepemikiran dengan Gus Dur”, “saya sangat dekat dengan kalangan Nahdliyin” dan sebagainya. Strategi ini bertujuan untuk menggugah rasa kepercayaan dan simpati pemilih terhadap bakal capres/cawapres dengan asumsi bahwa pemilih akan mentransfer kepercayaan dan pengaruh yang mereka miliki terhadap tokoh atau organisasi tersebut ke bakal capres/cawapres yang bersangkutan.

Beberapa Modus

Pertama, menciptakan asosiasi dengan tokoh atau kelompok tertentu, di mana bakal capres/cawapres bergabung dengan kelompok atau organisasi yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat, baik itu organisasi kemasyarakatan, keagamaan, maupun keluarga bakal capres/cawapres yang terkenal. Dengan “numpang keren” ini bakal capres/cawapres berharap bisa memanfaatkan reputasi dan pengaruh positif yang dimiliki oleh tokoh atau kelompok tersebut untuk meningkatkan citra mereka di mata publik.

Kedua, mengekspos penegasan persahabatan atau hubungan dekat. Politisi menunjukkan hubungan dekat atau persahabatan dengan tokoh atau tokoh politik yang dihormati oleh masyarakat, bahkan sampai berfoto bersama atau berbagi acara bersama mereka. “Sok dekat” ini bertujuan untuk mengindikasikan ke publik bahwa bakal capres/cawapres tersebut memiliki nilai-nilai yang sama atau memiliki visi yang sejalan dengan tokoh yang ditempel tersebut.

Ketiga, mensinergikan kepentingan dan nilai. Politisi cenderung secara terang-terangan menyelaraskan atau mengumumkan dukungan mereka terhadap kepentingan dan nilai-nilai yang dipegang oleh tokoh atau kelompok yang berpengaruh. Melalui pengumuman atau penegasan dukungan, misalnya: dari Pak Lurah, bakal capres/cawapres berharap akan terlihat sejalan dengan pemikiran dan keinginan publik.

Keempat, memanfaatkan bahasa dan narasi yang menggugah emosi. Politisi menggunakan bahasa atau narasi yang mampu membangkitkan emosi dan membangun hubungan emosional dengan pemilih. Strategi ini bertujuan untuk menciptakan koneksi emosional dengan pemilih dan memperkuat citra bakal capres/cawapres sebagai pemimpin yang peduli dan berkomitmen terhadap kepentingan publik. Anies Baswedan sangat sering menggunakan jargon, seperti: “Berkeadilan”, “Kesejahteraan Bagi Semua Warga “, “Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan” dan sebagainya; sementara Ganjar Pranowo sangat sering mengucapkan jargon, seperti: “Berdaya dan Berkarakter”, “Kesejahteraan Rakyat sebagai Prioritas Utama”, “Pertanian Maju dan Berkelanjutan”, “Pemerintahan yang Bersih dan Transparan”, dan sebagainya.

Ngaku-ngaku di Era Post-truth

Usaha para bakal capres/cawapres menaikkan elektabilitas dengan cara “ngaku-ngaku” dekat dengan tokoh tertentu atau organisasi kemasyarakatan yang sangat berpengaruh rentan mengalami komplikasi dengan era post-truth melalui media sosial yang liar.

Dalam era post-truth, di mana informasi tidak selalu dapat diverifikasi dengan mudah dan disebarkan dengan cepat melalui media sosial, kebenaran seringkali terdistorsi atau digantikan oleh naratif yang menguntungkan. Para bakal capres/cawapres yang mencoba memanfaatkan hal ini dengan klaim palsu tentang hubungan mereka dengan tokoh atau organisasi yang populer atau berpengaruh bisa ditangkap oleh kekuatan media sosial liar yang menyebar informasi palsu.

Medsos liar merupakan platform di mana berita palsu dan informasi yang tidak diverifikasi disebarluaskan tanpa hambatan. Klaim palsu dari para bakal capres/cawapres tentang hubungan mereka dengan tokoh atau organisasi tertentu mungkin saja terbukti sebagai kebohongan oleh fakta dan konfirmasi yang berasal dari pihak yang terlibat langsung. Hal ini dapat merusak reputasi dan kredibilitas para bakal capres/cawapres tersebut, sehingga menyebabkan penurunan elektabilitas mereka.

Untuk menghindari komplikasi dengan era post-truth dan media sosial liar, penting bagi para bakal capres/cawapres untuk berkomunikasi secara jujur ​​dan transparan dengan pemilih mereka. Mereka perlu menghindari klaim palsu yang dapat dengan mudah dipatahkan dan berusaha untuk membangun kepercayaan dengan menggunakan bukti nyata dan kredibilitas yang sudah ada. Selain itu, penting bagi pemilih untuk menjadikan diri mereka sebagai konsumen informasi yang kritis dan mampu melakukan verifikasi sendiri terhadap klaim yang dibuat oleh para bakal capres/cawapres.

Pola “ngaku-ngaku dekat” seolah menjadi kelaziman para bakal capres/cawapres untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka memiliki nilai-nilai yang sama dan memiliki visi yang sejalan dengan figur, kelompok, atau organisasi yang didaku atau diklaim. Namun upaya untuk meningkatkan elektabilitas dengan cara seperti ini dapat menjadi rumit di era post-truth melalui media sosial tanpa batas. Politisi yang berusaha memanfaatkan hal ini dengan membuat klaim palsu tentang hubungan mereka dengan individu dan organisasi yang populer dan berpengaruh dapat terjebak dalam kekuatan media sosial untuk menyebarkan disinformasi.

Tentang Penulis: Edy Suhardono adalah Pendiri IISA VISI WASKITA dan IISA Assessment, Consultancy & Research Centre. Pengamat Psiko-Politik. Penulis buku “Refleksi Metodologi Riset: Panorama Survey” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). Ia juga penggagas SoalSial. Ikuti ia di Facebook IISA dan Twitter IISA.

Terima kasih telah membaca. Beri komentar Anda tentang artikel ini.

Komentar

4 replies on “‘Ngaku-Ngaku’ Dekat”

Terima Kasih atas bahasan yang lengkap dan mudah saya pahami dalam memotret capres yang sedang memengaruhi calon pemilih. Silakan melanjutkan analisis yang tajam seperti yang sudah dibuat oleh mas Edy Suhardono.

Terima kasih telah membaca dan memberikan komentar yang membesarkan hati. Selanjutntya mohon jempol “like” dan komentar panjenengan agar situs ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menyikapi situasi sosial-politik kita.

Terima kasih, Pak Leo

Kendati pendek, tetapi komentar Anda telah memperluas pemikiran saya.
Pernyataan “Apapun dilakukan demi kenaikan elektabilitas” adalah mungkin merupakan generalisasi setelah membaca tulisan saya, tetapi berlaku pada beberapa individu, tetapi tidak untuk semua.
Elektabilitas sering dibutuhkan untuk menyesuaikan pesan dan tindakan mereka untuk menarik pilih biasa sebanyak mungkin. Beberapa bisa berpegang teguh pada prinsip-prinsip mereka dan berusaha menarik pemilih yang memiliki nilai-nilai yang sama tanpa mengandalkan elektabilitas.
Ada juga yang mungkin memilih untuk berperilaku secara tidak etis atau ilegal untuk meningkatkan elektabilitas mereka. Yang penting untuk diingat adalah bahwa setiap capres adalah individu dengan strategi mereka sendiri. Meskipun ada beberapa yang mungkin akan melakukan “apapun” untuk menang, ada juga yang berpegang teguh pada etika dan integritas mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *